Jumat, 01 Desember 2017

Sepenggal Kenangan di Masa Lalu








“Aku capek. Kita istirahat dulu yuk.” Ina berkata dengan raut wajah yang menggambarkan kelelahan  teramat sangat.

“Bentar lagi juga nyampek. Ayo donk semangat.” Kris mencoba membujuk Ina.

“Duduk bentar yuk. Di situ, di warung itu.” Ina kembali memohon.

Tak berdaya dengan tatapan memelas sahabatnya, Kris menggapai tangan Ina, menggandengnya. Beriringan mereka berjalan menuju warung bakso tenda yang berada di trotoar.

Ntah sudah berapa jauh mereka berjalan. Jauuuuhhh sekali. Bahkan Ina dan Kris tidak mengerti dari mana asal kepergian mereka, dan kemana tujuan mereka. Tetiba saja mereka ada dalam perjalanan ini, melangkahkan kaki dalam arah yang tak menentu, dalam alur cerita yang tak jelas, dalam tujuan yang samar. Berdua saling bergandengan tangan. Merasakan getar-getar bahagia dalam detak jantung masing-masing. Detak jantung seorang sahabat kepada sahabat. Detak jantung seorang sahabat yang memendam kasih kepada sahabat tercinta.

“Aku besok pulang Na.”   
                                                                                           
“Kenapa harus besok? Aku belum ingin kamu tinggal.”

“Minggu depan aku kembali lagi.”

“Tapi aku masih ingin bareng kamu terus.”

Dan tiba-tiba, latar belakang warung bakso di trotoar jalan berubah menjadi hutan pinus nan syahdu, sejuk, dan hening. 

Kris menggandeng tangan Ina. Berdua mereka berjalan di antara pohon-pohon pinus. Getar-getar bahagia dan menggelora masih bersemayam dalam tiap detak jantung keduanya.

“Aku besok pulang Na.” Kalimat di warung bakso itu kembali bergulir di hutan pinus.

“Aku belum ingin kamu tinggal.”

“Minggu depan aku kembali.” Ujar Kris sembari menyentuh bibir Ina  dengan kedua bibirnya. Lembut, penuh kasih, tanpa nafsu. Ina menikmati dengan seksama moment kebersamaan ini. Walau hanya sekilas, sentuhan lembut di bibir manisnya membekas dalam jauh di lubuk hati.

Lamat-lamat terdengar suara azan. Ina menggeliat...hutan pinus, Kris, kecupan lembut di bibir....hilang. Sesaat dirinya terpekur. Mencoba mengingat apa yang terjadi. Ya...kecupan lembut Kris hanya ada dalam mimpi. Perjalanan panjang tanpa arah dan tujuan itu juga cuma ada dalam mimpi. Gandeng tangan erat mereka selama perjalanan juga cuma ada dalam mimpi. Cerita tanpa alur yang jelas, tanpa konflik, dan tanpa tokoh-tokoh berkarakter ini juga cuma mimpi.

Namun mengapa getar-getar bahagia masih terasa membekas bahkan ketika mimpi telah usai.




Rabu, 29 November 2017

Ketika itu.....









Semburat jingga di ufuk senja masih membekas. Lasmi, gadis kecil yang mulai beranjak remaja itu baru saja tiba di rumah, setelah seharian menghabiskan waktu menjajakan dagangan di terminal bis. Ditinggal ibunya menjadi TKW di Arab, membuat gadis muda ini menjadi lebih dewasa dibanding usianya yang baru menjelang 13 tahun. Memiliki ibu seorang TKW di negeri minyak, bukan berarti semua kebutuhan Lasmi terpenuhi. Bahkan bisa dibilang, dia hidup serba kekurangan, sampai harus putus sekolah dan menjadi pedagang asongan di terminal bis. Entah apa yang dicari sang Bunda nun jauh di tanah seberang kalo ternyata kebutuhan mendasar anak semata wayangnya-pun tak terpenuhi.

Sementara sang bapak lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah selama berhari- hari.  Kembali ke rumah untuk 2 atau 3 hari, dan kemudian pergi lagi ntah kemana. Begitu selanjutnya. Datang dan pergi dalam ketidakpastian.

Lasmi bergegas menutup jendela-jendela dan pintu rumah. Setelahnya ia menuju dapur untuk menyalakan api di atas tungku. Tungku itu begitu sederhana, terdiri dari 3 buah batu bata yang ditumpuk di dua sisi. Lasmi menata beberapa potong kayu bakar di antara dua tumpukan batu bata tersebut. Menyiram sedikit minyak tanah di atasnya, kemudian menyalakan sebatang korek, dan melempar korek yang sudah menyala itu ke atas kayu bakar. Api-pun menyala. Namun Lasmi masih harus menjaga nyala api tersebut agar tidak segera padam.

Diambilnya sebuah panci  yang bagian luarnya hitam legam. Menghitam karena jelaga tungku. Diisinya panci itu dengan air, kemudian dijerangkannya di atas tungku. Sambil menunggu air mendidih, gadis muda tersebut menyiapkan cangkir yang diisi dengan sesendok gula dan sejumput teh. Hawa dingin mulai menusuk, Lasmi ingin menghangatkan tubuhnya dengan secangkir teh tubruk panas.

Ketika sedang asyik mengaduk gula dalam cangkir tehnya, samar-samar ada suara ketukan di pintu depan.

“Lasmi...buka pintu nduk.” Suara bapak mengikuti ketukan tersebut.

Deg....jantungnya berdetak kencang. Bapak pulang. Sudah lebih dari seminggu bapak pergi. Dan sekarang bapak pulang.

Perlahan langkahnya terayun menuju pintu, membukanya, menyalami tangan bapak, dan membiarkan lelaki paruh baya itu memasuki rumah. Adegan ini berlangsung tanpa dialog.

Bapak langsung menuju kamarnya, sementara Lasmi kembali ke dapur. Diambilnya satu cangkir yang lain, mengisinya dengan sesendok kopi hitam dan sesendok gula pasir kemudian menyeduhnya dengan air panas. Secangkir kopi hitam buat bapak.

Setelah menghangatkan tubuh dengan secangkir teh tubruk, Lasmi meletakkan kopi bapak di atas meja makan. Kemudian bergegas masuk ke kamarnya. Mengistirahatkan tubuhnya di atas sehelai kasur tipis yang kusam. Ditutupinya tubuh mungil itu dengan selembar selimut kumal. Matanya belum ingin terpejam, bahkan sebenarnya Lasmi masih ingin membasuh diri dengan sisa air panas yang tadi dimasaknya. Tapi keinginan itu sirna sudah. Pikirannya bergejolak.

Dalam posisi tubuh terbaring, telinganya masih terjaga. Dia mendengar langkah kaki bapak keluar kamar. Bisa dipastikan bapak menuju meja makan untuk menghabiskan kopi buatannya. 

Sesaat kemudian kembali terdengar langkah kaki bapak menuju kamar. Kamar yang persis berada di sebelah kamarnya.

“Lasmi...” Suara bapak memanggil namanya dari kamar sebelah.

“Lasmi...sini nduk.” Bapak kembali memanggil namanya.

“Iya pak.” Jawab Lasmi santun.


DUA JAM KEMUDIAN


Darah segar mengalir membasahi kasur. Lasmi berdiri mematung dengan belati di tangan kanannya. Sementara tubuh lelaki paruh baya itu tergeletak tak bergerak.

“Maafkan Lasmi bapak. Lasmi terpaksa melakukan ini.” Ujarnya lirih  menatap sendu mayat bapaknya.

Kemudian sambil mengelus perutnya yang kian membuncit, jiwa letihnya berujar,

“Maafkan ibu nak, karena membuatmu terlahir yatim.”





Jumat, 25 Agustus 2017

Beautiful Nightmare






  Aku sangat gembira. Beberapa saat yang lalu baru saja kutemukan kembali sosok yang dulu pernah mengisi "ruang hati" ini. Dia pernah menjadi "teman dekatku" tapi akhirnya kami berpisah karena dia ternyata memilih gadis lain yg lebih memikat dibanding aku. Aku sendiri bingung, kenapa aku begitu gembira bisa menemukan dirinya lagi, padahal dulu dia pernah membuatku hancur lebur, kehilangat semangat hidup, karena dia meninggalkan ku demi gadis lain yang kini menjadi istrinya.

Pertemuan tak sengaja melalui dunia maya itu kemudian berlanjut ke pertemuan di dunia nyata setelah kami saling bertukar nomor hp. 

"Aku pengen ketemu." Begitu pesan singkat  yang dia kirim padaku melalui WA.

 Aku bingung ingin membalas apa, di satu sisi aku juga ingin bertemu dengannya. Ada sensasi tersendiri yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata ketika aku membaca pesan singkatnya yang benar-benar singkat tersebut. Tapi di sisi lain aku tidak ingin membuka peluang bagi cinta lama. Apalagi dengan dia, yang dulu pernah mencampakkan ku begitu saja. Lantas aku pun menjawab seadanya, 

"Untuk apa?”
“Hanya sekedar bertemu untuk menyambung tali silaturahmi?"
 "Dengan keluarga masing-masing?" Jawabku lagi.
 "Tidak, hanya kau dan aku." Balasnya.

Setelah berpikir sesaat dan terdorong oleh rasa penasaran yang begitu besar, akhirnya kuputuskan untuk memenuhi ajakannya bertemu di satu cafe di sudut kota. Dengan syarat yang kuajukan kepadanya, ini hanya bertemuan biasa penyambung silaturahmi, bukan untuk CLBK. 



*****

Hari ini kami kencan untuk bertemu. Aku datang ke kafe yang menjadi tempat pertemuan kami sepuluh menit lebih awal dari dirinya. Pada saat dia datang, tidak bisa kupungkiri kalau dirinya masih tetap memikat seperti dulu, bahkan sekarang dia kelihatan jauh lebih dewasa dan berwibawa. Aku deg-deg an...layaknya seorang ABG yang bertemu arjuna pujaan hatinya. Dia menyapaku dengan santai dan hangat,

" Udah lama nunggu? Sorry ya aku kena macet, jadi agak telat."
 "Belum." Jawabku sambil mencoba bersikap setenang mungkin ,
" Sekitar 10 menitan lah" sambungku lagi.

Pertemuan itupun berlangsung dengan menyenangkan.  Dia tidak berubah, masih seperti dulu. Memikat, membuatku deg-degan, dan penuh pesona. Mungkin itulah sebabnya kenapa dulu aku sampai kurus kering pada saat dia meninggalkanku. Dan sekarang aku berani mengambil "resiko" dengan menerima ajakannya untuk bertemu.

Selesai pertemuan di kafe, dia mengajakku shopping, 

"Pengen ngasih kamu tanda mata." Begitu katanya ketika aku berusaha untuk menolak ajakannya. 

Dan sekali lagi, akupun luluh.  Dengan patuh kuikuti langkahnya memasuki mobil. Kami segera meluncur menuju ke satu pusat perbelanjaan terbesar di kotaku.

Selama perjalanan, obrolan kami tidak pernah terputus. Ada saja yang kami bicarakan.  Bersenda gurau,  saling menggoda, terkadang membicarakan hal-hal romantis mengenang masa lalu kami ketika masih menjadi sepasang kekasih. Karena kondisi ini lah, mungkin dia kurang konsentrasi menyetir. Ketika ada sebuah truk dari arah depan meluncur kearah kami, dia tidak mawas diri, sehingga kecelakaan  yang hebatpun tak terhindarkan.

Aku tak sadarkan diri, jiwa ini serasa mengembara jauh ke alam antah berantah. Sampai sayup-sayup  aku mendengar suara-suara  memanggilku, 

"Bu...bu...bangun. Sholat subuh dulu sudah jam lima lebih seperempat." Terdengar suara anakku memanggil-manggil. 

Aku tersentak. Alhamdulillah, ternyata ini hanya mimpi buruk. Cepat-cepat aku bangun, berwudhu, menunaikan sholat subuh, kemudian menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anak  tercinta.

Setelah suami berangkat ke kantor dan anak-anak menuju ke sekolah, aku  segera membuka akun facebook.  Kucari satu nama,  kemudian menghapusnya dari daftar teman dan  memblokirnya sekalian. 

Aku tidak ingin mimpi buruk itu menghampiriku dalam kehidupan nyata. Karena aku mencintai keluargaku.




NOTE :  1. Buat yang udah pasang niat mo selingkuh karena ketemu mantan di reuni,    atau FB, atau di negeri antah berantah, coba deh untuk berpikir lebih panjang lagi. Wong selingkuh di mimpi aja bisa kena musibah, apalagi selingkuh didunia nyata, bisa kena azab.
            2. Cerpen ini sudah diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen "Facebook, Reuni, dan CLBK"
 
Ciao everybody................






Senin, 21 Agustus 2017

BAB 12






BAB 12

Haris sudah berangkat ke kantor dan aku sedang bersiap untuk mengantar Edel dan Maghrib -putra bungsuku- ke sekolah. Tadi Edel terlambat bangun, kemudian dia juga ngambek tidak mau mandi karena sudah ditinggal papanya berangkat kerja. Memang setiap pagi ketika bangun tidur Haris selalu menggendong Edel dipunggungnya menuju kamar mandi. Hal itu menjadi kebiasaan rutin yang sangat membahagiakan bagi Edel. Tapi pagi ini Edel terlambat bangun, papanya sudah berangkat kerja, dan akhirnya dia mogok tidak mau mandi karena tidak digendong papa. Aku berusaha membujuknya, mbak Kas juga ikut membantuku membujuknya. Akhirnya setelah mbak Kas berjanji akan membuatkan kroket kentang kesukaannya, Edel bersedia kugendong ke kamar mandi.

Dengan cara ekspress kumandikan gadis kecil kami yang sekarang sudah berusia 6 tahun itu. Adiknya, Maghrib sedang  menyantap donat di meja makan. Dia sudah rapi dengan seragamnya. Kini dia asyik menghabiskan sarapannya sambil menunggu aku menyiapkan kakaknya berpakaian. Setelah semua beres, kami pun segera berangkat menuju sekolah ke dua buah hatiku. 

Aku mengantar Maghrib terlebih dahulu karena sekolahnya lebih dekat dengan rumah kami. Setelah itu aku bergerak menuju sekolah Edel. Ketika sampai di sekolah Edel, sebuah Sekolah Luar Biasa di pinggiran kota, bel sudah berbunyi. Aku mengantar Edel sampai ke depan pintu kelasnya.

Selesai mengantar kedua buah hatiku, aku melanjutkan perjalanan ke pasar. Berbelanja sayur dan lain-lain kemudian pulang. Dirumah, mbak Kas sudah menungguku. Beliau  menyambut belanjaanku dan langsung meraciknya. Jam 11 mbak Kas sudah harus selesai memasak karena anak-anak sudah pulang dari sekolah dan biasanya mereka akan langsung minta makan.

Pada saat mbak Kas memasak di dapur, aku menekuni pekerjaan sampinganku. Ya, sejak 5 tahun yang lalu aku menekuni sebuah online shop. Online shopku ini menjual berbagai macam barang-barang yang berhubungan dengan fashion wanita. Aku sangat bersyukur karena online shopku cukup maju. Dari hasil online shop ini aku bisa membeli sebuah rumah di Semarang, yang saat ini sedang dikontrak orang. Sewaktu Edel dan Maghrib masih kecil, aktifitas ini kujalankan sambil memomong mereka. Terkadang Haris ikut membantu pada saat kedua buah hati kami sedang rewel. Sekarang ketika anak-anak sudah mulai bersekolah, aku memiliki cukup banyak waktu untuk mengelola toko dunia maya ini.

Pada saat aku sedang online, mbak Menik mengirim kabar melalui BBM mengenai kondisi ibu.
“Ibu sakit Na.” Demikian pesan mbak Menik.
“Sakit apa mbak?”
“Darah tinggi, kondisinya agak kritis.”
Aku terdiam sesaat.
“Sekarang ibu dimana?”
“Di rumah sakit. Kamu bisa pulang Na?”
“Aku ingin sekali mbak, tapi bapak...”
“Jangan pikirkan bapak Na, tapi pikirkan ibu.” Bujuk mbak Menik.
“Nanti aku bicarakan dulu dengan Haris ya mbak.”
“Ya. Mbak tunggu kabarmu ya Na.”
“Ya mbak.”

Terakhir aku pulang ketika sedang mengandung Edel 7 bulan, sudah lebih dari 6 tahun  yang lalu. Sudah cukup  lama. Sejak itu aku  sudah berjanji tidak akan pernah pulang lagi. Dan aku menepati janjiku itu. Aku kecewa pada bapak. Walaupun dosaku terlalu besar dan kesalahanku terlalu fatal, tapi aku selalu berusaha untuk meminta maaf, memohon ampun mengemis-ngemis pada bapak. Bapak tidak pernah mau memaafkan kesalahanku. Beliau malah mengecapku sebagai anak durhaka, selalu menghujatku sebagai penzina. Ada sedikit rasa sakit hati dan terhina terselip di sudut sanubariku.

Dan kini, mbak menik memberi kabar tentang kondisi ibu yang kritis.
Ibu, wanita pemberani yang berhati sekeras baja. Kini beliau terbaring lemah di rumah sakit. Sejak aku melarikan diri dari rumah, menurut mbak Menik ibu berubah 180 derajat. Tidak lagi cerewet dan galak seperti dulu. Ibu menjadi pendiam. Dulu aku sering tidak sependapat dengan ibu, dan dulu aku sangat kagum dengan sifat bapak yang pendiam dan bijaksana.

Tapi sekarang hatiku berubah. Aku lebih merindukan ibu dibanding bapak. Walaupun ibu tidak pernah membelaku disaat bapak selalu mengusirku dengan kata-kata pedasnya tapi aku tahu kalau hatinya juga tersayat melihatku.

Konsentrasiku buyar. Kututup toko dan kumatikan laptop. Kulangkahkan kaki menuju dapur. Kulihat kroket kentang yang tadi dijanjikan mbak Kas pada Edel sudah jadi dan terhidang di meja. Terbayang wajah ceria Edel ketika dia melihat makanan kesukaannya ini nanti. Aku mengambil sebuah kroket, menikmati rasanya yang sungguh enak. Memang masakan mbak Kas tiada tanding. Apapun yang dimasaknya selalu mengundang selera karena rasanya sangat memanjakan lidah. 

Selesai mencicipi kroket, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 10 lebih 20 menit. Aku mengeluarkan motor dari garasi dan meluncur menuju sekolah anak-anak untuk menjemput mereka.

#####

“Ibu sakit Ris. Mbak Menik memintaku pulang.”

Menjelang tidur aku menyampaikan kondisi ibu pada Haris.

“Terus?”
“Aku bingung.”

Haris terdiam, aku juga. 

“Sejujurnya aku ingin pulang. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka sepanjang hidupku.”
“Semua keputusan aku serahkan sama kamu. Kalau kamu sudah siap lahir bathin untuk pulang, aku selalu siap mengantarmu Na.”
“Tapi aku takut sama bapak Ris. Apalagi kalau dia sampai melihat kondisi Edel. Aku siap kalau bapak kembali menghujatku. Tapi aku tidak siap kalau dia sampai menyinggung kondisi Edel.”

Haris kembali terdiam. Dan aku tau apa yang dirasakannya saat itu. Aku tau Haris juga tidak akan rela kalau sampai ada yang menghina Edel. Dia bisa menerima kalau ada orang yang menghinanya, tapi tidak kalau hinaan itu ditujukan pada gadis mungil kesayangannya itu, gadis mungil bukti keabadian cintanya padaku. Tidak ada yang boleh menyakiti phisik dan hati bidadari kecilnya itu.

“Kamu pikirkan lagi matang-matang semuanya.”
“Ya Ris.”

Berbarengan dengan itu, mbak Menik kembali mengirim pesan padaku.

“Pulang ya Na. Semua sudah pada kumpul di rumah ibu. Cuma Ina yang belum datang.”

Dan pesan itu dikirim mbak Menik dengan photo ibu yang sedang terbaring lemah di peraduan rumah sakit.
Hatiku luluh.

#######

Haris mengendong Edel di punggungnya menuju kamar mandi. Sementara aku sedang mendandani Maghrib, putra bungsu kami. Maghrib merupakan perpaduan antara diriku dan Haris, usianya kini 5 tahun.  Kulitnya putih bersih seperti diriku, sementara wajahnya merupakan potokopi dari wajah Haris. Hidungnya bangir, matanya tajam memancarkan kecerdasan. Tiga bulan  yang lalu papa dan mama mengunjungi kami. Ketika Haris, Maghrib dan papa duduk berdekatan aku seperti melihat Haris dalam tiga dimensi waktu. Kuabadikan momen itu dan mengunggahnya ke akun sosialku, ternyata banyak komentar yang juga sependapat denganku.

Hari ini aku meliburkan anak-anak dari sekolah mereka. Haris juga ijin tidak masuk kantor. Kukatakan pada Edel dan Maghrib kalau kami akan mengunjungi Eyang di Semarang. Tetapi putra-putriku tidak mempunyai gambaran sedikitpun tentang siapa itu Eyang. Yang mereka kenal hanya opa dan oma di Papua. Dan mereka mengira hari itu kami akan ke Papua.

“Bukan ke Papua, tapi ke Semarang.”

Jawabku atas pertanyaan si bungsu Maghrib.

########

Jam 9 tepat kami meluncur ke Semarang.  Sepanjang perjalanan aku merasakan sedikit kegelisahan. Kulihat Haris juga demikian. Tapi tidak dengan kedua anakku. Mereka asyik bercengkrama di jok belakang. Kakak beradik itu sangat kompak.  

Jarak Bawen-Semarang yang tidak terlalu jauh terasa begitu lama kami tempuh. Aku tahu sebenarnya Haris berat untuk melakukan tugas ini. Dulu dia selalu siap mengantarku pulang walaupun akhirnya disetiap kepulangan kami selalu berakhir dengan pengusiran. Tapi itu dulu,  jauh sebelum kami memiliki Edel dan Maghrib. Kini sudah ada Edel dan Maghrib, Haris khawatir kalau bapak tidak bisa menahan emosinya di hadapan kedua buah cinta kami.

Akhirnya kami sudah keluar tol dan memasuki kawasan Jatingaleh. Haris memacu kendaraannya dengan pelan, sangat pelan. Kami mulai memasuki kawasan Ksatrian. Jantungku mulai berdegup kencang tak beraturan. Walaupun kami sering mengunjungi mbak Lisa di Semarang, tapi sejak tragedi di pernikahan mbak Reni dulu, aku tidak pernah lagi memasuki kawasan Ksatrian. Kugenggam tangan kiri Haris, dingin. Sama dinginnya dengan tanganku.

Rumah kuno nan asri itu sudah terlihat di depan mata. Aku ragu...
Haris memarkir mobil di pinggir jalan. Selanjutnya kami mulai berdiam diri di dalamnya. Kedua anakku tertidur di jok belakang.

Hampir 5 menit kami menahan diri di dalam mobil, ketika kemudian Haris memantapkan langkahnya membuka pintu mobil.

“Bismillah.” Ujarnya menirukan kebiasaanku bertahun-tahun yang lalu.

Note : Kisah ini merupakan penggalan dari Novel berjudul "PULANG" yang sudah diterbitkan tahun 2016 yang lalu.