Jumat, 25 Agustus 2017

Beautiful Nightmare






  Aku sangat gembira. Beberapa saat yang lalu baru saja kutemukan kembali sosok yang dulu pernah mengisi "ruang hati" ini. Dia pernah menjadi "teman dekatku" tapi akhirnya kami berpisah karena dia ternyata memilih gadis lain yg lebih memikat dibanding aku. Aku sendiri bingung, kenapa aku begitu gembira bisa menemukan dirinya lagi, padahal dulu dia pernah membuatku hancur lebur, kehilangat semangat hidup, karena dia meninggalkan ku demi gadis lain yang kini menjadi istrinya.

Pertemuan tak sengaja melalui dunia maya itu kemudian berlanjut ke pertemuan di dunia nyata setelah kami saling bertukar nomor hp. 

"Aku pengen ketemu." Begitu pesan singkat  yang dia kirim padaku melalui WA.

 Aku bingung ingin membalas apa, di satu sisi aku juga ingin bertemu dengannya. Ada sensasi tersendiri yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata ketika aku membaca pesan singkatnya yang benar-benar singkat tersebut. Tapi di sisi lain aku tidak ingin membuka peluang bagi cinta lama. Apalagi dengan dia, yang dulu pernah mencampakkan ku begitu saja. Lantas aku pun menjawab seadanya, 

"Untuk apa?”
“Hanya sekedar bertemu untuk menyambung tali silaturahmi?"
 "Dengan keluarga masing-masing?" Jawabku lagi.
 "Tidak, hanya kau dan aku." Balasnya.

Setelah berpikir sesaat dan terdorong oleh rasa penasaran yang begitu besar, akhirnya kuputuskan untuk memenuhi ajakannya bertemu di satu cafe di sudut kota. Dengan syarat yang kuajukan kepadanya, ini hanya bertemuan biasa penyambung silaturahmi, bukan untuk CLBK. 



*****

Hari ini kami kencan untuk bertemu. Aku datang ke kafe yang menjadi tempat pertemuan kami sepuluh menit lebih awal dari dirinya. Pada saat dia datang, tidak bisa kupungkiri kalau dirinya masih tetap memikat seperti dulu, bahkan sekarang dia kelihatan jauh lebih dewasa dan berwibawa. Aku deg-deg an...layaknya seorang ABG yang bertemu arjuna pujaan hatinya. Dia menyapaku dengan santai dan hangat,

" Udah lama nunggu? Sorry ya aku kena macet, jadi agak telat."
 "Belum." Jawabku sambil mencoba bersikap setenang mungkin ,
" Sekitar 10 menitan lah" sambungku lagi.

Pertemuan itupun berlangsung dengan menyenangkan.  Dia tidak berubah, masih seperti dulu. Memikat, membuatku deg-degan, dan penuh pesona. Mungkin itulah sebabnya kenapa dulu aku sampai kurus kering pada saat dia meninggalkanku. Dan sekarang aku berani mengambil "resiko" dengan menerima ajakannya untuk bertemu.

Selesai pertemuan di kafe, dia mengajakku shopping, 

"Pengen ngasih kamu tanda mata." Begitu katanya ketika aku berusaha untuk menolak ajakannya. 

Dan sekali lagi, akupun luluh.  Dengan patuh kuikuti langkahnya memasuki mobil. Kami segera meluncur menuju ke satu pusat perbelanjaan terbesar di kotaku.

Selama perjalanan, obrolan kami tidak pernah terputus. Ada saja yang kami bicarakan.  Bersenda gurau,  saling menggoda, terkadang membicarakan hal-hal romantis mengenang masa lalu kami ketika masih menjadi sepasang kekasih. Karena kondisi ini lah, mungkin dia kurang konsentrasi menyetir. Ketika ada sebuah truk dari arah depan meluncur kearah kami, dia tidak mawas diri, sehingga kecelakaan  yang hebatpun tak terhindarkan.

Aku tak sadarkan diri, jiwa ini serasa mengembara jauh ke alam antah berantah. Sampai sayup-sayup  aku mendengar suara-suara  memanggilku, 

"Bu...bu...bangun. Sholat subuh dulu sudah jam lima lebih seperempat." Terdengar suara anakku memanggil-manggil. 

Aku tersentak. Alhamdulillah, ternyata ini hanya mimpi buruk. Cepat-cepat aku bangun, berwudhu, menunaikan sholat subuh, kemudian menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anak  tercinta.

Setelah suami berangkat ke kantor dan anak-anak menuju ke sekolah, aku  segera membuka akun facebook.  Kucari satu nama,  kemudian menghapusnya dari daftar teman dan  memblokirnya sekalian. 

Aku tidak ingin mimpi buruk itu menghampiriku dalam kehidupan nyata. Karena aku mencintai keluargaku.




NOTE :  1. Buat yang udah pasang niat mo selingkuh karena ketemu mantan di reuni,    atau FB, atau di negeri antah berantah, coba deh untuk berpikir lebih panjang lagi. Wong selingkuh di mimpi aja bisa kena musibah, apalagi selingkuh didunia nyata, bisa kena azab.
            2. Cerpen ini sudah diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen "Facebook, Reuni, dan CLBK"
 
Ciao everybody................






Senin, 21 Agustus 2017

BAB 12






BAB 12

Haris sudah berangkat ke kantor dan aku sedang bersiap untuk mengantar Edel dan Maghrib -putra bungsuku- ke sekolah. Tadi Edel terlambat bangun, kemudian dia juga ngambek tidak mau mandi karena sudah ditinggal papanya berangkat kerja. Memang setiap pagi ketika bangun tidur Haris selalu menggendong Edel dipunggungnya menuju kamar mandi. Hal itu menjadi kebiasaan rutin yang sangat membahagiakan bagi Edel. Tapi pagi ini Edel terlambat bangun, papanya sudah berangkat kerja, dan akhirnya dia mogok tidak mau mandi karena tidak digendong papa. Aku berusaha membujuknya, mbak Kas juga ikut membantuku membujuknya. Akhirnya setelah mbak Kas berjanji akan membuatkan kroket kentang kesukaannya, Edel bersedia kugendong ke kamar mandi.

Dengan cara ekspress kumandikan gadis kecil kami yang sekarang sudah berusia 6 tahun itu. Adiknya, Maghrib sedang  menyantap donat di meja makan. Dia sudah rapi dengan seragamnya. Kini dia asyik menghabiskan sarapannya sambil menunggu aku menyiapkan kakaknya berpakaian. Setelah semua beres, kami pun segera berangkat menuju sekolah ke dua buah hatiku. 

Aku mengantar Maghrib terlebih dahulu karena sekolahnya lebih dekat dengan rumah kami. Setelah itu aku bergerak menuju sekolah Edel. Ketika sampai di sekolah Edel, sebuah Sekolah Luar Biasa di pinggiran kota, bel sudah berbunyi. Aku mengantar Edel sampai ke depan pintu kelasnya.

Selesai mengantar kedua buah hatiku, aku melanjutkan perjalanan ke pasar. Berbelanja sayur dan lain-lain kemudian pulang. Dirumah, mbak Kas sudah menungguku. Beliau  menyambut belanjaanku dan langsung meraciknya. Jam 11 mbak Kas sudah harus selesai memasak karena anak-anak sudah pulang dari sekolah dan biasanya mereka akan langsung minta makan.

Pada saat mbak Kas memasak di dapur, aku menekuni pekerjaan sampinganku. Ya, sejak 5 tahun yang lalu aku menekuni sebuah online shop. Online shopku ini menjual berbagai macam barang-barang yang berhubungan dengan fashion wanita. Aku sangat bersyukur karena online shopku cukup maju. Dari hasil online shop ini aku bisa membeli sebuah rumah di Semarang, yang saat ini sedang dikontrak orang. Sewaktu Edel dan Maghrib masih kecil, aktifitas ini kujalankan sambil memomong mereka. Terkadang Haris ikut membantu pada saat kedua buah hati kami sedang rewel. Sekarang ketika anak-anak sudah mulai bersekolah, aku memiliki cukup banyak waktu untuk mengelola toko dunia maya ini.

Pada saat aku sedang online, mbak Menik mengirim kabar melalui BBM mengenai kondisi ibu.
“Ibu sakit Na.” Demikian pesan mbak Menik.
“Sakit apa mbak?”
“Darah tinggi, kondisinya agak kritis.”
Aku terdiam sesaat.
“Sekarang ibu dimana?”
“Di rumah sakit. Kamu bisa pulang Na?”
“Aku ingin sekali mbak, tapi bapak...”
“Jangan pikirkan bapak Na, tapi pikirkan ibu.” Bujuk mbak Menik.
“Nanti aku bicarakan dulu dengan Haris ya mbak.”
“Ya. Mbak tunggu kabarmu ya Na.”
“Ya mbak.”

Terakhir aku pulang ketika sedang mengandung Edel 7 bulan, sudah lebih dari 6 tahun  yang lalu. Sudah cukup  lama. Sejak itu aku  sudah berjanji tidak akan pernah pulang lagi. Dan aku menepati janjiku itu. Aku kecewa pada bapak. Walaupun dosaku terlalu besar dan kesalahanku terlalu fatal, tapi aku selalu berusaha untuk meminta maaf, memohon ampun mengemis-ngemis pada bapak. Bapak tidak pernah mau memaafkan kesalahanku. Beliau malah mengecapku sebagai anak durhaka, selalu menghujatku sebagai penzina. Ada sedikit rasa sakit hati dan terhina terselip di sudut sanubariku.

Dan kini, mbak menik memberi kabar tentang kondisi ibu yang kritis.
Ibu, wanita pemberani yang berhati sekeras baja. Kini beliau terbaring lemah di rumah sakit. Sejak aku melarikan diri dari rumah, menurut mbak Menik ibu berubah 180 derajat. Tidak lagi cerewet dan galak seperti dulu. Ibu menjadi pendiam. Dulu aku sering tidak sependapat dengan ibu, dan dulu aku sangat kagum dengan sifat bapak yang pendiam dan bijaksana.

Tapi sekarang hatiku berubah. Aku lebih merindukan ibu dibanding bapak. Walaupun ibu tidak pernah membelaku disaat bapak selalu mengusirku dengan kata-kata pedasnya tapi aku tahu kalau hatinya juga tersayat melihatku.

Konsentrasiku buyar. Kututup toko dan kumatikan laptop. Kulangkahkan kaki menuju dapur. Kulihat kroket kentang yang tadi dijanjikan mbak Kas pada Edel sudah jadi dan terhidang di meja. Terbayang wajah ceria Edel ketika dia melihat makanan kesukaannya ini nanti. Aku mengambil sebuah kroket, menikmati rasanya yang sungguh enak. Memang masakan mbak Kas tiada tanding. Apapun yang dimasaknya selalu mengundang selera karena rasanya sangat memanjakan lidah. 

Selesai mencicipi kroket, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 10 lebih 20 menit. Aku mengeluarkan motor dari garasi dan meluncur menuju sekolah anak-anak untuk menjemput mereka.

#####

“Ibu sakit Ris. Mbak Menik memintaku pulang.”

Menjelang tidur aku menyampaikan kondisi ibu pada Haris.

“Terus?”
“Aku bingung.”

Haris terdiam, aku juga. 

“Sejujurnya aku ingin pulang. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka sepanjang hidupku.”
“Semua keputusan aku serahkan sama kamu. Kalau kamu sudah siap lahir bathin untuk pulang, aku selalu siap mengantarmu Na.”
“Tapi aku takut sama bapak Ris. Apalagi kalau dia sampai melihat kondisi Edel. Aku siap kalau bapak kembali menghujatku. Tapi aku tidak siap kalau dia sampai menyinggung kondisi Edel.”

Haris kembali terdiam. Dan aku tau apa yang dirasakannya saat itu. Aku tau Haris juga tidak akan rela kalau sampai ada yang menghina Edel. Dia bisa menerima kalau ada orang yang menghinanya, tapi tidak kalau hinaan itu ditujukan pada gadis mungil kesayangannya itu, gadis mungil bukti keabadian cintanya padaku. Tidak ada yang boleh menyakiti phisik dan hati bidadari kecilnya itu.

“Kamu pikirkan lagi matang-matang semuanya.”
“Ya Ris.”

Berbarengan dengan itu, mbak Menik kembali mengirim pesan padaku.

“Pulang ya Na. Semua sudah pada kumpul di rumah ibu. Cuma Ina yang belum datang.”

Dan pesan itu dikirim mbak Menik dengan photo ibu yang sedang terbaring lemah di peraduan rumah sakit.
Hatiku luluh.

#######

Haris mengendong Edel di punggungnya menuju kamar mandi. Sementara aku sedang mendandani Maghrib, putra bungsu kami. Maghrib merupakan perpaduan antara diriku dan Haris, usianya kini 5 tahun.  Kulitnya putih bersih seperti diriku, sementara wajahnya merupakan potokopi dari wajah Haris. Hidungnya bangir, matanya tajam memancarkan kecerdasan. Tiga bulan  yang lalu papa dan mama mengunjungi kami. Ketika Haris, Maghrib dan papa duduk berdekatan aku seperti melihat Haris dalam tiga dimensi waktu. Kuabadikan momen itu dan mengunggahnya ke akun sosialku, ternyata banyak komentar yang juga sependapat denganku.

Hari ini aku meliburkan anak-anak dari sekolah mereka. Haris juga ijin tidak masuk kantor. Kukatakan pada Edel dan Maghrib kalau kami akan mengunjungi Eyang di Semarang. Tetapi putra-putriku tidak mempunyai gambaran sedikitpun tentang siapa itu Eyang. Yang mereka kenal hanya opa dan oma di Papua. Dan mereka mengira hari itu kami akan ke Papua.

“Bukan ke Papua, tapi ke Semarang.”

Jawabku atas pertanyaan si bungsu Maghrib.

########

Jam 9 tepat kami meluncur ke Semarang.  Sepanjang perjalanan aku merasakan sedikit kegelisahan. Kulihat Haris juga demikian. Tapi tidak dengan kedua anakku. Mereka asyik bercengkrama di jok belakang. Kakak beradik itu sangat kompak.  

Jarak Bawen-Semarang yang tidak terlalu jauh terasa begitu lama kami tempuh. Aku tahu sebenarnya Haris berat untuk melakukan tugas ini. Dulu dia selalu siap mengantarku pulang walaupun akhirnya disetiap kepulangan kami selalu berakhir dengan pengusiran. Tapi itu dulu,  jauh sebelum kami memiliki Edel dan Maghrib. Kini sudah ada Edel dan Maghrib, Haris khawatir kalau bapak tidak bisa menahan emosinya di hadapan kedua buah cinta kami.

Akhirnya kami sudah keluar tol dan memasuki kawasan Jatingaleh. Haris memacu kendaraannya dengan pelan, sangat pelan. Kami mulai memasuki kawasan Ksatrian. Jantungku mulai berdegup kencang tak beraturan. Walaupun kami sering mengunjungi mbak Lisa di Semarang, tapi sejak tragedi di pernikahan mbak Reni dulu, aku tidak pernah lagi memasuki kawasan Ksatrian. Kugenggam tangan kiri Haris, dingin. Sama dinginnya dengan tanganku.

Rumah kuno nan asri itu sudah terlihat di depan mata. Aku ragu...
Haris memarkir mobil di pinggir jalan. Selanjutnya kami mulai berdiam diri di dalamnya. Kedua anakku tertidur di jok belakang.

Hampir 5 menit kami menahan diri di dalam mobil, ketika kemudian Haris memantapkan langkahnya membuka pintu mobil.

“Bismillah.” Ujarnya menirukan kebiasaanku bertahun-tahun yang lalu.

Note : Kisah ini merupakan penggalan dari Novel berjudul "PULANG" yang sudah diterbitkan tahun 2016 yang lalu.



Semerah nafsuku, Seputih cintamu












“Aku hamil.” Pengakuanku padanya.
“Lantas…?” Jawabnya.
“Lantas…?” Aku balik bertanya dengan nada tinggi.

Dan kamipun saling diam membisu, hanyut dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Kalut dengan masalah yang sedang kami hadapi. Jendela chatting kami abaikan.

Berawal dari empat bulan yang lalu, ketika tidak sengaja, aku dan Dio bertemu kembali di dunia maya melalui jejaring sosial facebook. Setelah hampir 15 tahun kehilangan kontak, pertemuan itu benar-benar membuatku bahagia. Dio adalah mantan pacarku di SMA. Seperti kebanyakan remaja-remaja SMA pada jaman dulu, pacaran hanya pada saat di sekolah, bila sekolah libur, pacarannya juga libur. Begitu juga kami, setelah tamat SMA, hubungan kami pun perlahan-lahan memudar dan akhirnya putus tanpa kata putus, karena intensitas pertemuan yang terputus.

Aku melanjutkan kuliah ke pulau Jawa, kemudian bekerja dan menikah, hingga akhirnya menetap di Jawa. Sementara Dio ternyata tetap setia menetap di kota kelahiran kami. Dan empat bulan yang lalu kami bertemu di dunia maya.

Pertemuan itupun akhirnya terus berlanjut. Tiada hari yang terlewati tanpa chatting. Setiap hari kami banyak menghabiskan waktu untuk online, pagi, siang, sore, bahkan malam. Walau  sudah sama-sama berkeluarga, ternyata rasa saling mengagumi diantara kami belum sepenuhnya hilang. Aku tidak tau, apakah ini yang disebut cinta, pesona, atau mungkin hanya nafsu saja. Yang jelas kami benar-benar menikmati kebersamaan ini walau hanya lewat dunia maya.

Dari pertemuan ini, aku mengetahui kalau dia sekarang berwirausaha, dia menikah dengan adik kelas kami sewaktu SMA, dan aku juga mengenalnya.  Dio  sering berkunjung ke kotaku untuk urusan bisnis.  Tapi karena kami selama ini kehilangan kontak, jadi dia tidak tau kalau ternyata aku tinggal di kota yang sering dia kunjungi. Sementara, pada Dio aku juga bercerita kalau suamiku adalah teman kuliah ku, yang sekarang berprofesi sebagai pelaut.

“Aku sering ditinggal sampai berbulan-bulan.” Ujarku dalam salah satu chatting kami.
“Asyik dong…..berarti kalau pas aku ke kotamu, dan suamimu sedang berlayar, kita bisa copy darat ya ?” Dio menggoda ku.
“Bisa diaturlah……..hehehehe” Balasku.

Dan percakapan itupun akhirnya menjadi kenyataan, ketika dua bulan yang lalu Dio berkunjung ke kota ku. Kebetulan waktu itu suami ku sudah sebulan berlayar, dan biasanya dia akan turun ke darat setelah 8 bulan pelayaran, jadi masih tujuh bulan lagi dia pulang. Dalam kunjungannya Dio menepati janji untuk bertemu denganku. Pada pertemuan pertama  kami memilih tempat restaurant cepat saji yang berada di salah satu pusat perbelanjaan terbesar dikotaku.

“Berapa lama kamu disini?” Aku mengawali perbincangan kami.
“Kamu maunya berapa lama ?”Balas Dio sekenanya.

Walaupun ini pertemuan pertama setelah berpisah selama 15 tahun, tapi kami sama sekali tidak merasa canggung. Sikap ku dan Dio sudah akrab dan luwes, wajarlah karena selama ini kami intens berkomunikasi lewat udara.

“Yang punya urusan kan kamu, koq malah aku yang ditanya?”
“Kalau untuk urusan bisnis seharusnya aku disini dua minggu. Tapi karena ada urusan hati, jadi ya aku perpanjang aja jadi sebulan, gimana?”
“Nanti adek kelasku yang dirumahmu marah?” Tanyaku.
“Ah…dia itu istri yang baik. Tidak pernah campur tangan urusan suaminya.”
“Berarti kamu suami yang bejat, punya istri baik tapi dihianati.”
“Hahahaha…tapi kamu suka kan?” Godanya.

Pertemuan pertama itu berjalan dengan lancar. Dio mengantarku pulang, dan kami berjanji untuk bertemu lagi keesokan harinya.

Besoknya kami bertemu lagi, kali ini ditempat yang berbeda. Di satu restaurant mewah bernuansa tradisional. Pertemuan kedua ini kami lanjutkan dengan acara nonton bersama. Layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, kami begitu lengket. Suasana bioskop yang cukup mendukung membuat kami terbawa suasana. Akupun tidak kuasa menolak ketika Dio mengawalinya dengan menggenggam lenganku, kemudian perlahan namun pasti bibirnya memagut bibirku. Bisikan setan semakin memprovokasi kami. Hanyut dalam balutan panasnya uap neraka.

Pulang dari bioskop, Dio mengantarku pulang. Besok Dio akan menjemputku lagi setelah dia menyelesaikan urusan bisnisnya.

Pertemuan ketiga membuat kami semakin lupa diri. Pemanasan yang kemarin kami lakukan di bioskop rupanya telah membuat kami ketagihan untuk mengulangi bahkan menuntaskan hasrat yang semakin membara. Dio membawaku ke sebuah cottege di daerah perbukitan ke  arah luar kota.

Dua anak manusia yang telah dewasa, sudah sama-sama menikah, sudah saling merasakan kehangatan cinta, dan sedang membabi buta karena terbakar asmara. Kondisi ini membuat aku dan Dio lupa siapa kami sebenarnya. Kami juga lupa pada orang-orang yang ada dalam kehidupan kami. Kami begitu menggebu-gebu untuk mengumpar cinta dan nafsu.

Selama sebulan Dio dikotaku, hampir setiap hari kami mencari hotel, cottege, villa, untuk bercumbu rayu dan melepas hasrat.

Sebulan telah berlalu dari masa-masa kami mereguk madu asrama. Aku merasa ada yang berubah dalam diriku, aku gampang letih, sering pusing dan mual, serta tamu bulananku absen.   Sebagai perempuan yang sudah memiliki anak, aku tau ini tanda-tanda apa. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk menge-cek kondisiku. Dan aku memang sudah bisa menebak ketika hasil test menunjukkan kalau aku positif hamil 6 minggu. Ini bencana buatku. Suamiku pergi berlayar 3 bulan yang lalu, setelah sebulan kepergiannya aku menghabiskan waktu selama sebulan bersama Dio, dan sekarang setelah sebulan kepulangannya ke kota tempat tinggalnya aku hamil 6 minggu.

Tanpa basa-basi akupun memberitahu Dio tentang hal ini melalui chatting. Awalnya dia terkejut mendengar kabar tentang kehamilanku. Dan itu lah yang membuat kami terdiam membisu hanyut dalam suasana hati dan pikiran kalut. Suasana yang sungguh berbeda dengan saat-saat awal kami bertemu di dunia maya, kemudian dilanjutkan dengan menghabiskan waktu dari hotel ke hotel.

Aku memintanya untuk datang ke kotaku. Tapi dia mulai berkelit bahwa dia baru bisa mengunjungiku sebulan lagi, sekalian untuk urusan bisnisnya dikotaku.

“Tolong kali ini datanglah untukku, bukan untuk urusan bisnis. Aku butuh kamu untuk menyelesaikan masalah kita.” Aku memohon padanya.
“Aku akan datang untukmu Rina, tapi tolong tunggu bulan depan” Jawabnya.
“Tunggu bulan depan ? Tunggu sampai perut ku semakin membuncit? Tidak, aku ingin kau datang dalam minggu ini. Kita cari jalan keluar untuk menyelesaikan masalahku ini, yang juga merupakan masalahmu.” Aku ngotot memintanya untuk mengunjungiku.

Hal ini semata-mata karena aku tidak ingin terbelenggu dengan masalah yang kami ciptakan ini. Aku butuh jalan keluar dari semua ini, dan itu hanya bisa aku lakukan dengan melibatkan Dio, karena   masalah ini kami buat  bersama.

Akhirnya Dio pun mengalah,
“Oke…dua hari lagi aku ke kotamu.” Ujarnya.

****
 
Dari bandara Dio langsung menjemputku ke rumah, dan kami menuju ke salah satu café di sudut kota.

“Gimana nih ?” Aku sudah tidak sabar untuk memulai perbincangan.
“Aborsi?” Dio memberi masukan.

Sejujurnya pilihan itulah yang memang terbersit dalam benakku. Tapi ketika yang mengucapkan pilihan itu justru Dio, aku merasa tersinggung. Ucapannya itu menunjukkan bahwa dia takut bertanggung jawab terhadap kehamilanku.

“Memang gak ada pilihan lain?” Jawabku.
“Misalnya?”
“Ya…… apa kek, asal jangan aborsi. Aku takut mati.”
“Hmmmm…pilihan lain…menikah maksudmu?” Dio memancingku.

Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Karena walaupun aku telah menghianati suamiku, tapi aku masih sangat menyayangi dan mencintainya, dan juga kedua anakku.

Suamiku, walaupun dia seorang pelaut, yang kata orang tidak bisa dipercaya kesetiaannya, justru bagiku sangat spesial. Dia kalem, penyabar, dan sangat setia padaku, dia juga begitu menyayangi kedua anak-anak kami. Dalam pelayarannya, setiap ada kesempatan untuk berkomunikasi denganku dan anak-anak, dia tidak pernah melewatkannya. Dalam kondisi seperti ini, aku teringat akan semua kebaikan dan kesetiaannya. Aku merasa hina, merasa sangat berdosa, dan sangat merindukannya. Hal ini begitu berbeda ketika aku menghabiskan waktu dari hotel ke hotel bersama Dio, sedikit pun aku tidak pernah teringat suamiku. Perlahan butir-butir hangat mengalir dipipi.

 Dio membuyarkan lamunanku,

“Kamu siap untuk menikah denganku?” Dio mengulangi pertanyaannya.
“Tidak……sama sekali tidak.” Jawabku tegas.
“Kalau kamu bersedia, aku siap menikahimu.”
“Istrimu gimana?”
“Aku tidak akan menceraikannya, tapi toh  aku tetap bisa menikah denganmu.”

Hmmm….aku menghela nafas panjang. Selalu saja dalam setiap kondisi, wanita menjadi pihak yang dirugikan. Semua pilihan menyudutkanku. Kalau aku menggugurkan janin ini resikonya nyawa, dan yang jelas dosa, sementara Dio, dia hanya menanggung dosa tanpa resiko kehilangan nyawa. Kalau aku tetap menjaga janin ini, resikonya keluarga berantakan, ditinggal suami berlayar tapi aku bisa hamil. Sementara Dio, istrinya tidak pernah tau kalau suaminya telah menghamili perempuan lain. Dan kalau aku menerima ajakan Dio untuk menikah, resiko nya sama dengan pilihan kedua, keluargaku berantakan, karena untuk menikah dengan Dio aku harus minta cerai dulu dari suamiku, sementara Dio, dia bisa menikahi ku sembunyi-sembunyi tanpa harus menceraikan istrinya.

Baru kusadari sepenuhnya ketololanku ini. Mempunyai keluarga bahagia, suami baik dan setia, anak-anak yang sehat dan pintar, materi berlimpah, segala yang aku inginkan tercukupi, kenapa aku harus terjerumus ke lumpur penuh dosa ini.

Akhirnya aku memberi jawaban tegas pada Dio.
“Biar kupelihara janin ini.”
“Kamu serius?”
“Ya.” Jawabku pasti.
“Terus apa yang harus kulakukan?” Dio masih belum memahami keputusanku.
“Besok kamu pulang, temui anak istrimu, jaga mereka baik-baik. Jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Dan yang paling penting…jangan pernah memikirkan aku lagi. Anggap aja semua ini mimpi buruk. Sekarang kita sudah terbangun dari tidur, dan kembali kekehidupan nyata.” Aku memberikan argumentasiku kepada Dio. Dan Dio sepertinya masih belum sepenuhnya mempercayai keputusanku.
“Kamu yakin dengan semua ini? Kemarin kamu memaksa ku untuk datang kesini. Sekarang kamu menyuruhku pulang seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa.”
“Aku yakin. Benar-benar yakin. Pulang lah sebelum aku berubah pikiran.”

Dio pun mengantar aku pulang. Dalam perjalanan pulang dari cafe menuju rumahku, pikiranku berputar-putar. Sebenarnya aku punya rencana untuk menggugurkan janin ini. Tapi aku tidak ingin urusan ini menjadi ribet dengan melibatkan Dio. Kupikir tidak adanya gunanya melibatkan Dio dalam menyelesaikan masalah ini, karena apapun jalan keluar yang kami tempuh, semuanya tetap merugikan diriku. Biarkan saja Dio kembali ke kotanya, kemudian aku akan mengurus proses aborsi janin ini. Dan pada saat suamiku kembali 5 bulan lagi kondisi ku pasti sudah pulih, dan tidak ada lagi kisah-kisah roman antara aku dan Dio. Aku ingin kembali menjadi istri yang baik, setia, dan patuh pada suamiku.

####

Aku terkapar di rumah sakit. Setelah mengalami koma selama dua hari akhirnya aku siuman juga. Perawat memberi tahu kakakku kalau aku sudah sadarkan diri.

Ternyata pada saat  melakukan aborsi di salah satu klinik aku mengalami pendarahan hebat, hingga tidak sadarkan diri. Pada saat pergi ke klinik aku mengajak pembantuku, untuk berjaga-jaga kalau-kalau terjadi apa-apa dia bisa menghubungi keluargaku. Terus terang aku tidak memberitahu masalah ini kepada siapapun termasuk keluargaku, karena aku malu dan takut.

Pada saat aku tidak sadarkan diri, pembantuku menelphone kakak ku, dan akhirnya beliau memindahkan aku ke rumah sakit Internasional ini.

Setelah perawat memberitahu kakak  kalau aku sudah siuman, beliau masuk menemuiku. Aku tidak kuasa membalas tatapannya, ada rasa malu, hina, kotor, dan takut yang teramat sangat. Mungkin kakak ku menyadari akan hal ini. Dia tidak banyak bicara, hanya memelukku dengan erat sambil menghapus air mataku dengan jarinya. Dengan lembut dibelainya rambutku. Sesaat kemudian dia berucap,

“Alhamdulillah kamu sudah siuman.”

Aku hanya bisa mengangguk lemah.

“Maafin aku ya kak, sudah bikin aib keluarga.”
“Gak usah dipikirkan. Yang penting sekarang pulihkan dulu kondisimu.”

Kemudian kakak melanjutkan kalimatnya,

“Suamimu ada diluar.”

Bagai disambar petir disiang bolong, serasa aku ingin kembali pingsan. Seolah memahami perasaanku, kakak kembali berujar,

“Kamu gak usah takut, dia memahami kondisimu. Dan dia memaafkanmu. Dia ingin masuk menjengukmu, tapi dia meminta kakak untuk menenangkanmu terlebih dahulu.”

Setelah berkata begitu, kakak  keluar memanggil suamiku. Beliau, suamiku masuk. Aku memiringkan tubuh menghadap tembok, tidak kuasa dan tidak berani menatap wajahnya. Perlahan kurasakan tanganku disentuh. Suamiku….dia menggenggam jemariku, mengelusnya.

“Waktu kamu koma, kakak menghubungiku. Kami sedang berlabuh di Filipina. Sebenarnya aku tidak bisa meninggalkan kapal, tapi aku lebih tidak bisa lagi kalau harus meninggalkanmu dalam kondisi koma. Itulah sebabnya aku langsung terbang ke sini.” Suami ku mencoba mencairkan suasana.

Tapi justru kata-katanya itu  semakin membuat hatiku terjuham. Semakin membuat aku merasa sangat hina dan tidak pantas untuknya.

“Kamu gak usah takut. Aku memaafkanmu, benar-benar memaafkanmu karena aku begitu mencintaimu.” Dia berusaha meyakinkanku.

Aku masih memiringkan badan  menghadap tembok, sambil terus menahan tangis yang tak bisa kuhentikan. Ada rasa haru dan penyesalan, juga rasa malu yang begitu mendalam di hati.

“Selama seminggu ini aku akan menemanimu. Kemudian aku akan balik ke kapal. Lima bulan lagi aku mendarat. Untuk selanjutnya aku tidak akan mengambil kontrak lagi. Kita bisa mencoba  buka usaha, jadi aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Kita bisa bersama-sama terus setiap waktu.” Dia yang terkasih terus mencoba meyakinkanku sambil menuturkan rencananya.

Airmata ku semakin deras menetes. Aku membalikkan badan menghadapnya, kulihat ternyata matanya juga berkaca-kaca. Setulus hati aku memeluknya, sambil menangis dan mengucapkan kata maaf berulang ulang.

“Didalam hati seorang pelaut aku melabuhkan seluruh hidupku” Janjiku dalam hati.
 
Note : Cerpen ini sudah diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen yang berjudul "Facebook, Reuni, dan CLBK"