BAB 12
Haris sudah berangkat ke
kantor dan aku sedang bersiap untuk mengantar Edel dan Maghrib -putra bungsuku-
ke sekolah. Tadi Edel terlambat bangun, kemudian dia juga ngambek tidak mau
mandi karena sudah ditinggal papanya berangkat kerja. Memang setiap pagi ketika
bangun tidur Haris selalu menggendong Edel dipunggungnya menuju kamar mandi.
Hal itu menjadi kebiasaan rutin yang sangat membahagiakan bagi Edel. Tapi pagi
ini Edel terlambat bangun, papanya sudah berangkat kerja, dan akhirnya dia
mogok tidak mau mandi karena tidak digendong papa. Aku berusaha membujuknya,
mbak Kas juga ikut membantuku membujuknya. Akhirnya setelah mbak Kas berjanji
akan membuatkan kroket kentang kesukaannya, Edel bersedia kugendong ke kamar
mandi.
Dengan cara ekspress kumandikan gadis
kecil kami yang sekarang sudah berusia 6 tahun itu. Adiknya, Maghrib
sedang menyantap donat di meja makan.
Dia sudah rapi dengan seragamnya. Kini dia asyik menghabiskan sarapannya sambil
menunggu aku menyiapkan kakaknya berpakaian. Setelah semua beres, kami pun
segera berangkat menuju sekolah ke dua buah hatiku.
Aku mengantar Maghrib terlebih dahulu
karena sekolahnya lebih dekat dengan rumah kami. Setelah itu aku bergerak
menuju sekolah Edel. Ketika sampai di sekolah Edel, sebuah Sekolah Luar Biasa
di pinggiran kota, bel sudah berbunyi. Aku mengantar Edel sampai ke depan pintu
kelasnya.
Selesai mengantar kedua buah hatiku,
aku melanjutkan perjalanan ke pasar. Berbelanja sayur dan lain-lain kemudian
pulang. Dirumah, mbak Kas sudah menungguku. Beliau menyambut belanjaanku dan langsung
meraciknya. Jam 11 mbak Kas sudah harus selesai memasak karena anak-anak sudah
pulang dari sekolah dan biasanya mereka akan langsung minta makan.
Pada saat mbak Kas memasak di dapur,
aku menekuni pekerjaan sampinganku. Ya, sejak 5 tahun yang lalu aku menekuni
sebuah online shop. Online shopku ini menjual berbagai macam barang-barang yang
berhubungan dengan fashion wanita. Aku sangat bersyukur karena online shopku
cukup maju. Dari hasil online shop ini aku bisa membeli sebuah rumah di
Semarang, yang saat ini sedang dikontrak orang. Sewaktu Edel dan Maghrib masih
kecil, aktifitas ini kujalankan sambil memomong mereka. Terkadang Haris ikut
membantu pada saat kedua buah hati kami sedang rewel. Sekarang ketika anak-anak
sudah mulai bersekolah, aku memiliki cukup banyak waktu untuk mengelola toko dunia
maya ini.
Pada saat aku sedang online, mbak Menik
mengirim kabar melalui BBM mengenai kondisi ibu.
“Ibu sakit Na.” Demikian pesan mbak
Menik.
“Sakit apa mbak?”
“Darah tinggi, kondisinya agak kritis.”
Aku terdiam sesaat.
“Sekarang ibu dimana?”
“Di rumah sakit. Kamu bisa pulang Na?”
“Aku ingin sekali mbak, tapi bapak...”
“Jangan pikirkan bapak Na, tapi
pikirkan ibu.” Bujuk mbak Menik.
“Nanti aku bicarakan dulu dengan Haris
ya mbak.”
“Ya. Mbak tunggu kabarmu ya Na.”
“Ya mbak.”
Terakhir aku pulang ketika sedang
mengandung Edel 7 bulan, sudah lebih dari 6 tahun yang lalu. Sudah cukup lama. Sejak itu aku sudah berjanji tidak akan pernah pulang lagi.
Dan aku menepati janjiku itu. Aku kecewa pada bapak. Walaupun dosaku terlalu
besar dan kesalahanku terlalu fatal, tapi aku selalu berusaha untuk meminta
maaf, memohon ampun mengemis-ngemis pada bapak. Bapak tidak pernah mau
memaafkan kesalahanku. Beliau malah mengecapku sebagai anak durhaka, selalu
menghujatku sebagai penzina. Ada sedikit rasa sakit hati dan terhina terselip
di sudut sanubariku.
Dan kini, mbak menik memberi kabar
tentang kondisi ibu yang kritis.
Ibu, wanita pemberani yang berhati
sekeras baja. Kini beliau terbaring lemah di rumah sakit. Sejak aku melarikan
diri dari rumah, menurut mbak Menik ibu berubah 180 derajat. Tidak lagi cerewet
dan galak seperti dulu. Ibu menjadi pendiam. Dulu aku sering tidak sependapat
dengan ibu, dan dulu aku sangat kagum dengan sifat bapak yang pendiam dan
bijaksana.
Tapi sekarang hatiku berubah. Aku lebih
merindukan ibu dibanding bapak. Walaupun ibu tidak pernah membelaku disaat
bapak selalu mengusirku dengan kata-kata pedasnya tapi aku tahu kalau hatinya
juga tersayat melihatku.
Konsentrasiku buyar. Kututup toko dan
kumatikan laptop. Kulangkahkan kaki menuju dapur. Kulihat kroket kentang yang
tadi dijanjikan mbak Kas pada Edel sudah jadi dan terhidang di meja. Terbayang
wajah ceria Edel ketika dia melihat makanan kesukaannya ini nanti. Aku
mengambil sebuah kroket, menikmati rasanya yang sungguh enak. Memang masakan
mbak Kas tiada tanding. Apapun yang dimasaknya selalu mengundang selera karena
rasanya sangat memanjakan lidah.
Selesai mencicipi kroket, kulihat jam
sudah menunjukkan pukul 10 lebih 20 menit. Aku mengeluarkan motor dari garasi
dan meluncur menuju sekolah anak-anak untuk menjemput mereka.
#####
“Ibu sakit Ris. Mbak Menik memintaku
pulang.”
Menjelang tidur aku menyampaikan
kondisi ibu pada Haris.
“Terus?”
“Aku bingung.”
Haris terdiam, aku juga.
“Sejujurnya aku ingin pulang. Aku tidak
ingin menjadi anak durhaka sepanjang hidupku.”
“Semua keputusan aku serahkan sama
kamu. Kalau kamu sudah siap lahir bathin untuk pulang, aku selalu siap
mengantarmu Na.”
“Tapi aku takut sama bapak Ris. Apalagi
kalau dia sampai melihat kondisi Edel. Aku siap kalau bapak kembali
menghujatku. Tapi aku tidak siap kalau dia sampai menyinggung kondisi Edel.”
Haris kembali terdiam. Dan aku tau apa
yang dirasakannya saat itu. Aku tau Haris juga tidak akan rela kalau sampai ada
yang menghina Edel. Dia bisa menerima kalau ada orang yang menghinanya, tapi
tidak kalau hinaan itu ditujukan pada gadis mungil kesayangannya itu, gadis
mungil bukti keabadian cintanya padaku. Tidak ada yang boleh menyakiti phisik
dan hati bidadari kecilnya itu.
“Kamu pikirkan lagi matang-matang
semuanya.”
“Ya Ris.”
Berbarengan dengan itu, mbak Menik
kembali mengirim pesan padaku.
“Pulang ya Na. Semua sudah pada kumpul
di rumah ibu. Cuma Ina yang belum datang.”
Dan pesan itu dikirim mbak Menik dengan
photo ibu yang sedang terbaring lemah di peraduan rumah sakit.
Hatiku luluh.
#######
Haris mengendong Edel di punggungnya
menuju kamar mandi. Sementara aku sedang mendandani Maghrib, putra bungsu kami.
Maghrib merupakan perpaduan antara diriku dan Haris, usianya kini 5 tahun. Kulitnya putih bersih seperti diriku,
sementara wajahnya merupakan potokopi dari wajah Haris. Hidungnya bangir,
matanya tajam memancarkan kecerdasan. Tiga bulan yang lalu papa dan mama mengunjungi kami.
Ketika Haris, Maghrib dan papa duduk berdekatan aku seperti melihat Haris dalam
tiga dimensi waktu. Kuabadikan momen itu dan mengunggahnya ke akun sosialku,
ternyata banyak komentar yang juga sependapat denganku.
Hari ini aku meliburkan anak-anak dari
sekolah mereka. Haris juga ijin tidak masuk kantor. Kukatakan pada Edel dan
Maghrib kalau kami akan mengunjungi Eyang di Semarang. Tetapi putra-putriku
tidak mempunyai gambaran sedikitpun tentang siapa itu Eyang. Yang mereka kenal
hanya opa dan oma di Papua. Dan mereka mengira hari itu kami akan ke Papua.
“Bukan ke Papua, tapi ke Semarang.”
Jawabku atas pertanyaan si bungsu Maghrib.
########
Jam 9 tepat kami meluncur ke
Semarang. Sepanjang perjalanan aku
merasakan sedikit kegelisahan. Kulihat Haris juga demikian. Tapi tidak dengan
kedua anakku. Mereka asyik bercengkrama di jok belakang. Kakak beradik itu
sangat kompak.
Jarak Bawen-Semarang yang tidak terlalu
jauh terasa begitu lama kami tempuh. Aku tahu sebenarnya Haris berat untuk
melakukan tugas ini. Dulu dia selalu siap mengantarku pulang walaupun akhirnya
disetiap kepulangan kami selalu berakhir dengan pengusiran. Tapi itu dulu, jauh sebelum kami memiliki Edel dan Maghrib.
Kini sudah ada Edel dan Maghrib, Haris khawatir kalau bapak tidak bisa menahan
emosinya di hadapan kedua buah cinta kami.
Akhirnya kami sudah keluar tol dan
memasuki kawasan Jatingaleh. Haris memacu kendaraannya dengan pelan, sangat
pelan. Kami mulai memasuki kawasan Ksatrian. Jantungku mulai berdegup kencang
tak beraturan. Walaupun kami sering mengunjungi mbak Lisa di Semarang, tapi
sejak tragedi di pernikahan mbak Reni dulu, aku tidak pernah lagi memasuki
kawasan Ksatrian. Kugenggam tangan kiri Haris, dingin. Sama dinginnya dengan
tanganku.
Rumah kuno nan asri itu sudah terlihat
di depan mata. Aku ragu...
Haris memarkir mobil di pinggir jalan.
Selanjutnya kami mulai berdiam diri di dalamnya. Kedua anakku tertidur di jok
belakang.
Hampir 5 menit kami menahan diri di
dalam mobil, ketika kemudian Haris memantapkan langkahnya membuka pintu mobil.
“Bismillah.” Ujarnya menirukan
kebiasaanku bertahun-tahun yang lalu.
Note : Kisah ini merupakan penggalan dari Novel berjudul "PULANG" yang sudah diterbitkan tahun 2016 yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar