Senin, 21 Agustus 2017

BAB 12






BAB 12

Haris sudah berangkat ke kantor dan aku sedang bersiap untuk mengantar Edel dan Maghrib -putra bungsuku- ke sekolah. Tadi Edel terlambat bangun, kemudian dia juga ngambek tidak mau mandi karena sudah ditinggal papanya berangkat kerja. Memang setiap pagi ketika bangun tidur Haris selalu menggendong Edel dipunggungnya menuju kamar mandi. Hal itu menjadi kebiasaan rutin yang sangat membahagiakan bagi Edel. Tapi pagi ini Edel terlambat bangun, papanya sudah berangkat kerja, dan akhirnya dia mogok tidak mau mandi karena tidak digendong papa. Aku berusaha membujuknya, mbak Kas juga ikut membantuku membujuknya. Akhirnya setelah mbak Kas berjanji akan membuatkan kroket kentang kesukaannya, Edel bersedia kugendong ke kamar mandi.

Dengan cara ekspress kumandikan gadis kecil kami yang sekarang sudah berusia 6 tahun itu. Adiknya, Maghrib sedang  menyantap donat di meja makan. Dia sudah rapi dengan seragamnya. Kini dia asyik menghabiskan sarapannya sambil menunggu aku menyiapkan kakaknya berpakaian. Setelah semua beres, kami pun segera berangkat menuju sekolah ke dua buah hatiku. 

Aku mengantar Maghrib terlebih dahulu karena sekolahnya lebih dekat dengan rumah kami. Setelah itu aku bergerak menuju sekolah Edel. Ketika sampai di sekolah Edel, sebuah Sekolah Luar Biasa di pinggiran kota, bel sudah berbunyi. Aku mengantar Edel sampai ke depan pintu kelasnya.

Selesai mengantar kedua buah hatiku, aku melanjutkan perjalanan ke pasar. Berbelanja sayur dan lain-lain kemudian pulang. Dirumah, mbak Kas sudah menungguku. Beliau  menyambut belanjaanku dan langsung meraciknya. Jam 11 mbak Kas sudah harus selesai memasak karena anak-anak sudah pulang dari sekolah dan biasanya mereka akan langsung minta makan.

Pada saat mbak Kas memasak di dapur, aku menekuni pekerjaan sampinganku. Ya, sejak 5 tahun yang lalu aku menekuni sebuah online shop. Online shopku ini menjual berbagai macam barang-barang yang berhubungan dengan fashion wanita. Aku sangat bersyukur karena online shopku cukup maju. Dari hasil online shop ini aku bisa membeli sebuah rumah di Semarang, yang saat ini sedang dikontrak orang. Sewaktu Edel dan Maghrib masih kecil, aktifitas ini kujalankan sambil memomong mereka. Terkadang Haris ikut membantu pada saat kedua buah hati kami sedang rewel. Sekarang ketika anak-anak sudah mulai bersekolah, aku memiliki cukup banyak waktu untuk mengelola toko dunia maya ini.

Pada saat aku sedang online, mbak Menik mengirim kabar melalui BBM mengenai kondisi ibu.
“Ibu sakit Na.” Demikian pesan mbak Menik.
“Sakit apa mbak?”
“Darah tinggi, kondisinya agak kritis.”
Aku terdiam sesaat.
“Sekarang ibu dimana?”
“Di rumah sakit. Kamu bisa pulang Na?”
“Aku ingin sekali mbak, tapi bapak...”
“Jangan pikirkan bapak Na, tapi pikirkan ibu.” Bujuk mbak Menik.
“Nanti aku bicarakan dulu dengan Haris ya mbak.”
“Ya. Mbak tunggu kabarmu ya Na.”
“Ya mbak.”

Terakhir aku pulang ketika sedang mengandung Edel 7 bulan, sudah lebih dari 6 tahun  yang lalu. Sudah cukup  lama. Sejak itu aku  sudah berjanji tidak akan pernah pulang lagi. Dan aku menepati janjiku itu. Aku kecewa pada bapak. Walaupun dosaku terlalu besar dan kesalahanku terlalu fatal, tapi aku selalu berusaha untuk meminta maaf, memohon ampun mengemis-ngemis pada bapak. Bapak tidak pernah mau memaafkan kesalahanku. Beliau malah mengecapku sebagai anak durhaka, selalu menghujatku sebagai penzina. Ada sedikit rasa sakit hati dan terhina terselip di sudut sanubariku.

Dan kini, mbak menik memberi kabar tentang kondisi ibu yang kritis.
Ibu, wanita pemberani yang berhati sekeras baja. Kini beliau terbaring lemah di rumah sakit. Sejak aku melarikan diri dari rumah, menurut mbak Menik ibu berubah 180 derajat. Tidak lagi cerewet dan galak seperti dulu. Ibu menjadi pendiam. Dulu aku sering tidak sependapat dengan ibu, dan dulu aku sangat kagum dengan sifat bapak yang pendiam dan bijaksana.

Tapi sekarang hatiku berubah. Aku lebih merindukan ibu dibanding bapak. Walaupun ibu tidak pernah membelaku disaat bapak selalu mengusirku dengan kata-kata pedasnya tapi aku tahu kalau hatinya juga tersayat melihatku.

Konsentrasiku buyar. Kututup toko dan kumatikan laptop. Kulangkahkan kaki menuju dapur. Kulihat kroket kentang yang tadi dijanjikan mbak Kas pada Edel sudah jadi dan terhidang di meja. Terbayang wajah ceria Edel ketika dia melihat makanan kesukaannya ini nanti. Aku mengambil sebuah kroket, menikmati rasanya yang sungguh enak. Memang masakan mbak Kas tiada tanding. Apapun yang dimasaknya selalu mengundang selera karena rasanya sangat memanjakan lidah. 

Selesai mencicipi kroket, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 10 lebih 20 menit. Aku mengeluarkan motor dari garasi dan meluncur menuju sekolah anak-anak untuk menjemput mereka.

#####

“Ibu sakit Ris. Mbak Menik memintaku pulang.”

Menjelang tidur aku menyampaikan kondisi ibu pada Haris.

“Terus?”
“Aku bingung.”

Haris terdiam, aku juga. 

“Sejujurnya aku ingin pulang. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka sepanjang hidupku.”
“Semua keputusan aku serahkan sama kamu. Kalau kamu sudah siap lahir bathin untuk pulang, aku selalu siap mengantarmu Na.”
“Tapi aku takut sama bapak Ris. Apalagi kalau dia sampai melihat kondisi Edel. Aku siap kalau bapak kembali menghujatku. Tapi aku tidak siap kalau dia sampai menyinggung kondisi Edel.”

Haris kembali terdiam. Dan aku tau apa yang dirasakannya saat itu. Aku tau Haris juga tidak akan rela kalau sampai ada yang menghina Edel. Dia bisa menerima kalau ada orang yang menghinanya, tapi tidak kalau hinaan itu ditujukan pada gadis mungil kesayangannya itu, gadis mungil bukti keabadian cintanya padaku. Tidak ada yang boleh menyakiti phisik dan hati bidadari kecilnya itu.

“Kamu pikirkan lagi matang-matang semuanya.”
“Ya Ris.”

Berbarengan dengan itu, mbak Menik kembali mengirim pesan padaku.

“Pulang ya Na. Semua sudah pada kumpul di rumah ibu. Cuma Ina yang belum datang.”

Dan pesan itu dikirim mbak Menik dengan photo ibu yang sedang terbaring lemah di peraduan rumah sakit.
Hatiku luluh.

#######

Haris mengendong Edel di punggungnya menuju kamar mandi. Sementara aku sedang mendandani Maghrib, putra bungsu kami. Maghrib merupakan perpaduan antara diriku dan Haris, usianya kini 5 tahun.  Kulitnya putih bersih seperti diriku, sementara wajahnya merupakan potokopi dari wajah Haris. Hidungnya bangir, matanya tajam memancarkan kecerdasan. Tiga bulan  yang lalu papa dan mama mengunjungi kami. Ketika Haris, Maghrib dan papa duduk berdekatan aku seperti melihat Haris dalam tiga dimensi waktu. Kuabadikan momen itu dan mengunggahnya ke akun sosialku, ternyata banyak komentar yang juga sependapat denganku.

Hari ini aku meliburkan anak-anak dari sekolah mereka. Haris juga ijin tidak masuk kantor. Kukatakan pada Edel dan Maghrib kalau kami akan mengunjungi Eyang di Semarang. Tetapi putra-putriku tidak mempunyai gambaran sedikitpun tentang siapa itu Eyang. Yang mereka kenal hanya opa dan oma di Papua. Dan mereka mengira hari itu kami akan ke Papua.

“Bukan ke Papua, tapi ke Semarang.”

Jawabku atas pertanyaan si bungsu Maghrib.

########

Jam 9 tepat kami meluncur ke Semarang.  Sepanjang perjalanan aku merasakan sedikit kegelisahan. Kulihat Haris juga demikian. Tapi tidak dengan kedua anakku. Mereka asyik bercengkrama di jok belakang. Kakak beradik itu sangat kompak.  

Jarak Bawen-Semarang yang tidak terlalu jauh terasa begitu lama kami tempuh. Aku tahu sebenarnya Haris berat untuk melakukan tugas ini. Dulu dia selalu siap mengantarku pulang walaupun akhirnya disetiap kepulangan kami selalu berakhir dengan pengusiran. Tapi itu dulu,  jauh sebelum kami memiliki Edel dan Maghrib. Kini sudah ada Edel dan Maghrib, Haris khawatir kalau bapak tidak bisa menahan emosinya di hadapan kedua buah cinta kami.

Akhirnya kami sudah keluar tol dan memasuki kawasan Jatingaleh. Haris memacu kendaraannya dengan pelan, sangat pelan. Kami mulai memasuki kawasan Ksatrian. Jantungku mulai berdegup kencang tak beraturan. Walaupun kami sering mengunjungi mbak Lisa di Semarang, tapi sejak tragedi di pernikahan mbak Reni dulu, aku tidak pernah lagi memasuki kawasan Ksatrian. Kugenggam tangan kiri Haris, dingin. Sama dinginnya dengan tanganku.

Rumah kuno nan asri itu sudah terlihat di depan mata. Aku ragu...
Haris memarkir mobil di pinggir jalan. Selanjutnya kami mulai berdiam diri di dalamnya. Kedua anakku tertidur di jok belakang.

Hampir 5 menit kami menahan diri di dalam mobil, ketika kemudian Haris memantapkan langkahnya membuka pintu mobil.

“Bismillah.” Ujarnya menirukan kebiasaanku bertahun-tahun yang lalu.

Note : Kisah ini merupakan penggalan dari Novel berjudul "PULANG" yang sudah diterbitkan tahun 2016 yang lalu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar