Senin, 21 Agustus 2017

Semerah nafsuku, Seputih cintamu












“Aku hamil.” Pengakuanku padanya.
“Lantas…?” Jawabnya.
“Lantas…?” Aku balik bertanya dengan nada tinggi.

Dan kamipun saling diam membisu, hanyut dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Kalut dengan masalah yang sedang kami hadapi. Jendela chatting kami abaikan.

Berawal dari empat bulan yang lalu, ketika tidak sengaja, aku dan Dio bertemu kembali di dunia maya melalui jejaring sosial facebook. Setelah hampir 15 tahun kehilangan kontak, pertemuan itu benar-benar membuatku bahagia. Dio adalah mantan pacarku di SMA. Seperti kebanyakan remaja-remaja SMA pada jaman dulu, pacaran hanya pada saat di sekolah, bila sekolah libur, pacarannya juga libur. Begitu juga kami, setelah tamat SMA, hubungan kami pun perlahan-lahan memudar dan akhirnya putus tanpa kata putus, karena intensitas pertemuan yang terputus.

Aku melanjutkan kuliah ke pulau Jawa, kemudian bekerja dan menikah, hingga akhirnya menetap di Jawa. Sementara Dio ternyata tetap setia menetap di kota kelahiran kami. Dan empat bulan yang lalu kami bertemu di dunia maya.

Pertemuan itupun akhirnya terus berlanjut. Tiada hari yang terlewati tanpa chatting. Setiap hari kami banyak menghabiskan waktu untuk online, pagi, siang, sore, bahkan malam. Walau  sudah sama-sama berkeluarga, ternyata rasa saling mengagumi diantara kami belum sepenuhnya hilang. Aku tidak tau, apakah ini yang disebut cinta, pesona, atau mungkin hanya nafsu saja. Yang jelas kami benar-benar menikmati kebersamaan ini walau hanya lewat dunia maya.

Dari pertemuan ini, aku mengetahui kalau dia sekarang berwirausaha, dia menikah dengan adik kelas kami sewaktu SMA, dan aku juga mengenalnya.  Dio  sering berkunjung ke kotaku untuk urusan bisnis.  Tapi karena kami selama ini kehilangan kontak, jadi dia tidak tau kalau ternyata aku tinggal di kota yang sering dia kunjungi. Sementara, pada Dio aku juga bercerita kalau suamiku adalah teman kuliah ku, yang sekarang berprofesi sebagai pelaut.

“Aku sering ditinggal sampai berbulan-bulan.” Ujarku dalam salah satu chatting kami.
“Asyik dong…..berarti kalau pas aku ke kotamu, dan suamimu sedang berlayar, kita bisa copy darat ya ?” Dio menggoda ku.
“Bisa diaturlah……..hehehehe” Balasku.

Dan percakapan itupun akhirnya menjadi kenyataan, ketika dua bulan yang lalu Dio berkunjung ke kota ku. Kebetulan waktu itu suami ku sudah sebulan berlayar, dan biasanya dia akan turun ke darat setelah 8 bulan pelayaran, jadi masih tujuh bulan lagi dia pulang. Dalam kunjungannya Dio menepati janji untuk bertemu denganku. Pada pertemuan pertama  kami memilih tempat restaurant cepat saji yang berada di salah satu pusat perbelanjaan terbesar dikotaku.

“Berapa lama kamu disini?” Aku mengawali perbincangan kami.
“Kamu maunya berapa lama ?”Balas Dio sekenanya.

Walaupun ini pertemuan pertama setelah berpisah selama 15 tahun, tapi kami sama sekali tidak merasa canggung. Sikap ku dan Dio sudah akrab dan luwes, wajarlah karena selama ini kami intens berkomunikasi lewat udara.

“Yang punya urusan kan kamu, koq malah aku yang ditanya?”
“Kalau untuk urusan bisnis seharusnya aku disini dua minggu. Tapi karena ada urusan hati, jadi ya aku perpanjang aja jadi sebulan, gimana?”
“Nanti adek kelasku yang dirumahmu marah?” Tanyaku.
“Ah…dia itu istri yang baik. Tidak pernah campur tangan urusan suaminya.”
“Berarti kamu suami yang bejat, punya istri baik tapi dihianati.”
“Hahahaha…tapi kamu suka kan?” Godanya.

Pertemuan pertama itu berjalan dengan lancar. Dio mengantarku pulang, dan kami berjanji untuk bertemu lagi keesokan harinya.

Besoknya kami bertemu lagi, kali ini ditempat yang berbeda. Di satu restaurant mewah bernuansa tradisional. Pertemuan kedua ini kami lanjutkan dengan acara nonton bersama. Layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, kami begitu lengket. Suasana bioskop yang cukup mendukung membuat kami terbawa suasana. Akupun tidak kuasa menolak ketika Dio mengawalinya dengan menggenggam lenganku, kemudian perlahan namun pasti bibirnya memagut bibirku. Bisikan setan semakin memprovokasi kami. Hanyut dalam balutan panasnya uap neraka.

Pulang dari bioskop, Dio mengantarku pulang. Besok Dio akan menjemputku lagi setelah dia menyelesaikan urusan bisnisnya.

Pertemuan ketiga membuat kami semakin lupa diri. Pemanasan yang kemarin kami lakukan di bioskop rupanya telah membuat kami ketagihan untuk mengulangi bahkan menuntaskan hasrat yang semakin membara. Dio membawaku ke sebuah cottege di daerah perbukitan ke  arah luar kota.

Dua anak manusia yang telah dewasa, sudah sama-sama menikah, sudah saling merasakan kehangatan cinta, dan sedang membabi buta karena terbakar asmara. Kondisi ini membuat aku dan Dio lupa siapa kami sebenarnya. Kami juga lupa pada orang-orang yang ada dalam kehidupan kami. Kami begitu menggebu-gebu untuk mengumpar cinta dan nafsu.

Selama sebulan Dio dikotaku, hampir setiap hari kami mencari hotel, cottege, villa, untuk bercumbu rayu dan melepas hasrat.

Sebulan telah berlalu dari masa-masa kami mereguk madu asrama. Aku merasa ada yang berubah dalam diriku, aku gampang letih, sering pusing dan mual, serta tamu bulananku absen.   Sebagai perempuan yang sudah memiliki anak, aku tau ini tanda-tanda apa. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk menge-cek kondisiku. Dan aku memang sudah bisa menebak ketika hasil test menunjukkan kalau aku positif hamil 6 minggu. Ini bencana buatku. Suamiku pergi berlayar 3 bulan yang lalu, setelah sebulan kepergiannya aku menghabiskan waktu selama sebulan bersama Dio, dan sekarang setelah sebulan kepulangannya ke kota tempat tinggalnya aku hamil 6 minggu.

Tanpa basa-basi akupun memberitahu Dio tentang hal ini melalui chatting. Awalnya dia terkejut mendengar kabar tentang kehamilanku. Dan itu lah yang membuat kami terdiam membisu hanyut dalam suasana hati dan pikiran kalut. Suasana yang sungguh berbeda dengan saat-saat awal kami bertemu di dunia maya, kemudian dilanjutkan dengan menghabiskan waktu dari hotel ke hotel.

Aku memintanya untuk datang ke kotaku. Tapi dia mulai berkelit bahwa dia baru bisa mengunjungiku sebulan lagi, sekalian untuk urusan bisnisnya dikotaku.

“Tolong kali ini datanglah untukku, bukan untuk urusan bisnis. Aku butuh kamu untuk menyelesaikan masalah kita.” Aku memohon padanya.
“Aku akan datang untukmu Rina, tapi tolong tunggu bulan depan” Jawabnya.
“Tunggu bulan depan ? Tunggu sampai perut ku semakin membuncit? Tidak, aku ingin kau datang dalam minggu ini. Kita cari jalan keluar untuk menyelesaikan masalahku ini, yang juga merupakan masalahmu.” Aku ngotot memintanya untuk mengunjungiku.

Hal ini semata-mata karena aku tidak ingin terbelenggu dengan masalah yang kami ciptakan ini. Aku butuh jalan keluar dari semua ini, dan itu hanya bisa aku lakukan dengan melibatkan Dio, karena   masalah ini kami buat  bersama.

Akhirnya Dio pun mengalah,
“Oke…dua hari lagi aku ke kotamu.” Ujarnya.

****
 
Dari bandara Dio langsung menjemputku ke rumah, dan kami menuju ke salah satu café di sudut kota.

“Gimana nih ?” Aku sudah tidak sabar untuk memulai perbincangan.
“Aborsi?” Dio memberi masukan.

Sejujurnya pilihan itulah yang memang terbersit dalam benakku. Tapi ketika yang mengucapkan pilihan itu justru Dio, aku merasa tersinggung. Ucapannya itu menunjukkan bahwa dia takut bertanggung jawab terhadap kehamilanku.

“Memang gak ada pilihan lain?” Jawabku.
“Misalnya?”
“Ya…… apa kek, asal jangan aborsi. Aku takut mati.”
“Hmmmm…pilihan lain…menikah maksudmu?” Dio memancingku.

Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Karena walaupun aku telah menghianati suamiku, tapi aku masih sangat menyayangi dan mencintainya, dan juga kedua anakku.

Suamiku, walaupun dia seorang pelaut, yang kata orang tidak bisa dipercaya kesetiaannya, justru bagiku sangat spesial. Dia kalem, penyabar, dan sangat setia padaku, dia juga begitu menyayangi kedua anak-anak kami. Dalam pelayarannya, setiap ada kesempatan untuk berkomunikasi denganku dan anak-anak, dia tidak pernah melewatkannya. Dalam kondisi seperti ini, aku teringat akan semua kebaikan dan kesetiaannya. Aku merasa hina, merasa sangat berdosa, dan sangat merindukannya. Hal ini begitu berbeda ketika aku menghabiskan waktu dari hotel ke hotel bersama Dio, sedikit pun aku tidak pernah teringat suamiku. Perlahan butir-butir hangat mengalir dipipi.

 Dio membuyarkan lamunanku,

“Kamu siap untuk menikah denganku?” Dio mengulangi pertanyaannya.
“Tidak……sama sekali tidak.” Jawabku tegas.
“Kalau kamu bersedia, aku siap menikahimu.”
“Istrimu gimana?”
“Aku tidak akan menceraikannya, tapi toh  aku tetap bisa menikah denganmu.”

Hmmm….aku menghela nafas panjang. Selalu saja dalam setiap kondisi, wanita menjadi pihak yang dirugikan. Semua pilihan menyudutkanku. Kalau aku menggugurkan janin ini resikonya nyawa, dan yang jelas dosa, sementara Dio, dia hanya menanggung dosa tanpa resiko kehilangan nyawa. Kalau aku tetap menjaga janin ini, resikonya keluarga berantakan, ditinggal suami berlayar tapi aku bisa hamil. Sementara Dio, istrinya tidak pernah tau kalau suaminya telah menghamili perempuan lain. Dan kalau aku menerima ajakan Dio untuk menikah, resiko nya sama dengan pilihan kedua, keluargaku berantakan, karena untuk menikah dengan Dio aku harus minta cerai dulu dari suamiku, sementara Dio, dia bisa menikahi ku sembunyi-sembunyi tanpa harus menceraikan istrinya.

Baru kusadari sepenuhnya ketololanku ini. Mempunyai keluarga bahagia, suami baik dan setia, anak-anak yang sehat dan pintar, materi berlimpah, segala yang aku inginkan tercukupi, kenapa aku harus terjerumus ke lumpur penuh dosa ini.

Akhirnya aku memberi jawaban tegas pada Dio.
“Biar kupelihara janin ini.”
“Kamu serius?”
“Ya.” Jawabku pasti.
“Terus apa yang harus kulakukan?” Dio masih belum memahami keputusanku.
“Besok kamu pulang, temui anak istrimu, jaga mereka baik-baik. Jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Dan yang paling penting…jangan pernah memikirkan aku lagi. Anggap aja semua ini mimpi buruk. Sekarang kita sudah terbangun dari tidur, dan kembali kekehidupan nyata.” Aku memberikan argumentasiku kepada Dio. Dan Dio sepertinya masih belum sepenuhnya mempercayai keputusanku.
“Kamu yakin dengan semua ini? Kemarin kamu memaksa ku untuk datang kesini. Sekarang kamu menyuruhku pulang seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa.”
“Aku yakin. Benar-benar yakin. Pulang lah sebelum aku berubah pikiran.”

Dio pun mengantar aku pulang. Dalam perjalanan pulang dari cafe menuju rumahku, pikiranku berputar-putar. Sebenarnya aku punya rencana untuk menggugurkan janin ini. Tapi aku tidak ingin urusan ini menjadi ribet dengan melibatkan Dio. Kupikir tidak adanya gunanya melibatkan Dio dalam menyelesaikan masalah ini, karena apapun jalan keluar yang kami tempuh, semuanya tetap merugikan diriku. Biarkan saja Dio kembali ke kotanya, kemudian aku akan mengurus proses aborsi janin ini. Dan pada saat suamiku kembali 5 bulan lagi kondisi ku pasti sudah pulih, dan tidak ada lagi kisah-kisah roman antara aku dan Dio. Aku ingin kembali menjadi istri yang baik, setia, dan patuh pada suamiku.

####

Aku terkapar di rumah sakit. Setelah mengalami koma selama dua hari akhirnya aku siuman juga. Perawat memberi tahu kakakku kalau aku sudah sadarkan diri.

Ternyata pada saat  melakukan aborsi di salah satu klinik aku mengalami pendarahan hebat, hingga tidak sadarkan diri. Pada saat pergi ke klinik aku mengajak pembantuku, untuk berjaga-jaga kalau-kalau terjadi apa-apa dia bisa menghubungi keluargaku. Terus terang aku tidak memberitahu masalah ini kepada siapapun termasuk keluargaku, karena aku malu dan takut.

Pada saat aku tidak sadarkan diri, pembantuku menelphone kakak ku, dan akhirnya beliau memindahkan aku ke rumah sakit Internasional ini.

Setelah perawat memberitahu kakak  kalau aku sudah siuman, beliau masuk menemuiku. Aku tidak kuasa membalas tatapannya, ada rasa malu, hina, kotor, dan takut yang teramat sangat. Mungkin kakak ku menyadari akan hal ini. Dia tidak banyak bicara, hanya memelukku dengan erat sambil menghapus air mataku dengan jarinya. Dengan lembut dibelainya rambutku. Sesaat kemudian dia berucap,

“Alhamdulillah kamu sudah siuman.”

Aku hanya bisa mengangguk lemah.

“Maafin aku ya kak, sudah bikin aib keluarga.”
“Gak usah dipikirkan. Yang penting sekarang pulihkan dulu kondisimu.”

Kemudian kakak melanjutkan kalimatnya,

“Suamimu ada diluar.”

Bagai disambar petir disiang bolong, serasa aku ingin kembali pingsan. Seolah memahami perasaanku, kakak kembali berujar,

“Kamu gak usah takut, dia memahami kondisimu. Dan dia memaafkanmu. Dia ingin masuk menjengukmu, tapi dia meminta kakak untuk menenangkanmu terlebih dahulu.”

Setelah berkata begitu, kakak  keluar memanggil suamiku. Beliau, suamiku masuk. Aku memiringkan tubuh menghadap tembok, tidak kuasa dan tidak berani menatap wajahnya. Perlahan kurasakan tanganku disentuh. Suamiku….dia menggenggam jemariku, mengelusnya.

“Waktu kamu koma, kakak menghubungiku. Kami sedang berlabuh di Filipina. Sebenarnya aku tidak bisa meninggalkan kapal, tapi aku lebih tidak bisa lagi kalau harus meninggalkanmu dalam kondisi koma. Itulah sebabnya aku langsung terbang ke sini.” Suami ku mencoba mencairkan suasana.

Tapi justru kata-katanya itu  semakin membuat hatiku terjuham. Semakin membuat aku merasa sangat hina dan tidak pantas untuknya.

“Kamu gak usah takut. Aku memaafkanmu, benar-benar memaafkanmu karena aku begitu mencintaimu.” Dia berusaha meyakinkanku.

Aku masih memiringkan badan  menghadap tembok, sambil terus menahan tangis yang tak bisa kuhentikan. Ada rasa haru dan penyesalan, juga rasa malu yang begitu mendalam di hati.

“Selama seminggu ini aku akan menemanimu. Kemudian aku akan balik ke kapal. Lima bulan lagi aku mendarat. Untuk selanjutnya aku tidak akan mengambil kontrak lagi. Kita bisa mencoba  buka usaha, jadi aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Kita bisa bersama-sama terus setiap waktu.” Dia yang terkasih terus mencoba meyakinkanku sambil menuturkan rencananya.

Airmata ku semakin deras menetes. Aku membalikkan badan menghadapnya, kulihat ternyata matanya juga berkaca-kaca. Setulus hati aku memeluknya, sambil menangis dan mengucapkan kata maaf berulang ulang.

“Didalam hati seorang pelaut aku melabuhkan seluruh hidupku” Janjiku dalam hati.
 
Note : Cerpen ini sudah diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen yang berjudul "Facebook, Reuni, dan CLBK"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar