“Aku hamil.”
Pengakuanku padanya.
“Lantas…?” Jawabnya.
“Lantas…?” Aku
balik bertanya dengan nada tinggi.
Dan kamipun saling diam membisu, hanyut dalam pikiran
dan perasaan masing-masing. Kalut dengan masalah yang sedang kami hadapi.
Jendela chatting kami abaikan.
Berawal dari empat bulan yang lalu, ketika tidak
sengaja, aku dan Dio bertemu kembali di dunia maya melalui jejaring sosial
facebook. Setelah hampir 15 tahun kehilangan kontak, pertemuan itu benar-benar
membuatku bahagia. Dio adalah mantan pacarku di SMA. Seperti kebanyakan
remaja-remaja SMA pada jaman dulu, pacaran hanya pada saat di sekolah, bila
sekolah libur, pacarannya juga libur. Begitu juga kami, setelah tamat SMA,
hubungan kami pun perlahan-lahan memudar dan akhirnya putus tanpa kata putus,
karena intensitas pertemuan yang terputus.
Aku melanjutkan kuliah ke pulau Jawa, kemudian bekerja
dan menikah, hingga akhirnya menetap di Jawa. Sementara Dio ternyata tetap
setia menetap di kota kelahiran kami. Dan empat bulan yang lalu kami bertemu di
dunia maya.
Pertemuan
itupun akhirnya terus berlanjut. Tiada hari yang terlewati tanpa chatting.
Setiap hari kami banyak menghabiskan waktu untuk online, pagi, siang, sore,
bahkan malam. Walau sudah sama-sama
berkeluarga, ternyata rasa saling mengagumi diantara kami belum sepenuhnya
hilang. Aku tidak tau, apakah ini yang disebut cinta, pesona, atau mungkin
hanya nafsu saja. Yang jelas kami benar-benar menikmati kebersamaan ini walau
hanya lewat dunia maya.
Dari
pertemuan ini, aku mengetahui kalau dia sekarang berwirausaha, dia menikah
dengan adik kelas kami sewaktu SMA, dan aku juga mengenalnya. Dio sering berkunjung ke kotaku untuk urusan
bisnis. Tapi karena kami selama ini kehilangan kontak, jadi dia tidak tau
kalau ternyata aku tinggal di kota yang sering dia kunjungi. Sementara, pada
Dio aku juga bercerita kalau suamiku adalah teman kuliah ku, yang sekarang
berprofesi sebagai pelaut.
“Aku sering
ditinggal sampai berbulan-bulan.” Ujarku dalam salah satu chatting kami.
“Asyik
dong…..berarti kalau pas aku ke kotamu, dan suamimu sedang berlayar, kita bisa
copy darat ya ?” Dio menggoda ku.
“Bisa
diaturlah……..hehehehe” Balasku.
Dan
percakapan itupun akhirnya menjadi kenyataan, ketika dua bulan yang lalu Dio
berkunjung ke kota ku. Kebetulan waktu itu suami ku sudah sebulan berlayar, dan
biasanya dia akan turun ke darat setelah 8 bulan pelayaran, jadi masih tujuh
bulan lagi dia pulang. Dalam kunjungannya Dio menepati janji untuk bertemu
denganku. Pada pertemuan pertama kami
memilih tempat restaurant cepat saji yang berada di salah satu pusat
perbelanjaan terbesar dikotaku.
“Berapa lama
kamu disini?” Aku mengawali perbincangan kami.
“Kamu maunya
berapa lama ?”Balas Dio sekenanya.
Walaupun ini
pertemuan pertama setelah berpisah selama 15 tahun, tapi kami sama sekali tidak
merasa canggung. Sikap ku dan Dio sudah akrab dan luwes, wajarlah karena selama
ini kami intens berkomunikasi lewat udara.
“Yang punya
urusan kan kamu, koq malah aku yang ditanya?”
“Kalau untuk
urusan bisnis seharusnya aku disini dua minggu. Tapi karena ada urusan hati,
jadi ya aku perpanjang aja jadi sebulan, gimana?”
“Nanti adek kelasku
yang dirumahmu marah?” Tanyaku.
“Ah…dia itu
istri yang baik. Tidak pernah campur tangan urusan suaminya.”
“Berarti
kamu suami yang bejat, punya istri baik tapi dihianati.”
“Hahahaha…tapi
kamu suka kan?” Godanya.
Pertemuan
pertama itu berjalan dengan lancar. Dio mengantarku pulang, dan kami berjanji
untuk bertemu lagi keesokan harinya.
Besoknya
kami bertemu lagi, kali ini ditempat yang berbeda. Di satu restaurant mewah
bernuansa tradisional. Pertemuan kedua ini kami lanjutkan dengan acara nonton
bersama. Layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, kami begitu
lengket. Suasana bioskop yang cukup mendukung membuat kami terbawa suasana.
Akupun tidak kuasa menolak ketika Dio mengawalinya dengan menggenggam lenganku,
kemudian perlahan namun pasti bibirnya memagut bibirku. Bisikan setan semakin
memprovokasi kami. Hanyut dalam balutan panasnya uap neraka.
Pulang dari
bioskop, Dio mengantarku pulang. Besok Dio akan menjemputku lagi setelah dia
menyelesaikan urusan bisnisnya.
Pertemuan
ketiga membuat kami semakin lupa diri. Pemanasan yang kemarin kami lakukan di
bioskop rupanya telah membuat kami ketagihan untuk mengulangi bahkan
menuntaskan hasrat yang semakin membara. Dio membawaku ke sebuah cottege di
daerah perbukitan ke arah luar kota.
Dua anak
manusia yang telah dewasa, sudah sama-sama menikah, sudah saling merasakan
kehangatan cinta, dan sedang membabi buta karena terbakar asmara. Kondisi ini
membuat aku dan Dio lupa siapa kami sebenarnya. Kami juga lupa pada orang-orang
yang ada dalam kehidupan kami. Kami begitu menggebu-gebu untuk mengumpar cinta
dan nafsu.
Selama
sebulan Dio dikotaku, hampir setiap hari kami mencari hotel, cottege, villa,
untuk bercumbu rayu dan melepas hasrat.
Sebulan
telah berlalu dari masa-masa kami mereguk madu asrama. Aku merasa ada yang
berubah dalam diriku, aku gampang letih, sering pusing dan mual, serta tamu
bulananku absen. Sebagai perempuan yang sudah memiliki anak, aku
tau ini tanda-tanda apa. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk menge-cek
kondisiku. Dan aku memang sudah bisa menebak ketika hasil test menunjukkan
kalau aku positif hamil 6 minggu. Ini bencana buatku. Suamiku pergi berlayar 3
bulan yang lalu, setelah sebulan kepergiannya aku menghabiskan waktu selama
sebulan bersama Dio, dan sekarang setelah sebulan kepulangannya ke kota tempat
tinggalnya aku hamil 6 minggu.
Tanpa
basa-basi akupun memberitahu Dio tentang hal ini melalui chatting. Awalnya dia
terkejut mendengar kabar tentang kehamilanku. Dan itu lah yang membuat kami
terdiam membisu hanyut dalam suasana hati dan pikiran kalut. Suasana yang
sungguh berbeda dengan saat-saat awal kami bertemu di dunia maya, kemudian
dilanjutkan dengan menghabiskan waktu dari hotel ke hotel.
Aku
memintanya untuk datang ke kotaku. Tapi dia mulai berkelit bahwa dia baru bisa
mengunjungiku sebulan lagi, sekalian untuk urusan bisnisnya dikotaku.
“Tolong kali
ini datanglah untukku, bukan untuk urusan bisnis. Aku butuh kamu untuk
menyelesaikan masalah kita.” Aku memohon padanya.
“Aku akan
datang untukmu Rina, tapi tolong tunggu bulan depan” Jawabnya.
“Tunggu
bulan depan ? Tunggu sampai perut ku semakin membuncit? Tidak, aku ingin kau
datang dalam minggu ini. Kita cari jalan keluar untuk menyelesaikan masalahku
ini, yang juga merupakan masalahmu.” Aku ngotot memintanya untuk mengunjungiku.
Hal ini
semata-mata karena aku tidak ingin terbelenggu dengan masalah yang kami
ciptakan ini. Aku butuh jalan keluar dari semua ini, dan itu hanya bisa aku
lakukan dengan melibatkan Dio, karena masalah ini kami buat
bersama.
Akhirnya Dio
pun mengalah,
“Oke…dua
hari lagi aku ke kotamu.” Ujarnya.
****
Dari bandara
Dio langsung menjemputku ke rumah, dan kami menuju ke salah satu café di sudut
kota.
“Gimana nih
?” Aku sudah tidak sabar untuk memulai perbincangan.
“Aborsi?”
Dio memberi masukan.
Sejujurnya
pilihan itulah yang memang terbersit dalam benakku. Tapi ketika yang
mengucapkan pilihan itu justru Dio, aku merasa tersinggung. Ucapannya itu
menunjukkan bahwa dia takut bertanggung jawab terhadap kehamilanku.
“Memang gak
ada pilihan lain?” Jawabku.
“Misalnya?”
“Ya…… apa
kek, asal jangan aborsi. Aku takut mati.”
“Hmmmm…pilihan
lain…menikah maksudmu?” Dio memancingku.
Aku tidak bisa
menjawab pertanyaannya. Karena walaupun aku telah menghianati suamiku, tapi aku
masih sangat menyayangi dan mencintainya, dan juga kedua anakku.
Suamiku,
walaupun dia seorang pelaut, yang kata orang tidak bisa dipercaya kesetiaannya,
justru bagiku sangat spesial. Dia kalem, penyabar, dan sangat setia padaku, dia
juga begitu menyayangi kedua anak-anak kami. Dalam pelayarannya, setiap ada
kesempatan untuk berkomunikasi denganku dan anak-anak, dia tidak pernah
melewatkannya. Dalam kondisi seperti ini, aku teringat akan semua kebaikan dan
kesetiaannya. Aku merasa hina, merasa sangat berdosa, dan sangat merindukannya.
Hal ini begitu berbeda ketika aku menghabiskan waktu dari hotel ke hotel
bersama Dio, sedikit pun aku tidak pernah teringat suamiku. Perlahan butir-butir
hangat mengalir dipipi.
Dio membuyarkan lamunanku,
“Kamu siap
untuk menikah denganku?” Dio mengulangi pertanyaannya.
“Tidak……sama
sekali tidak.” Jawabku tegas.
“Kalau kamu
bersedia, aku siap menikahimu.”
“Istrimu
gimana?”
“Aku tidak
akan menceraikannya, tapi toh aku tetap bisa menikah denganmu.”
Hmmm….aku
menghela nafas panjang. Selalu saja dalam setiap kondisi, wanita menjadi pihak
yang dirugikan. Semua pilihan menyudutkanku. Kalau aku menggugurkan janin ini
resikonya nyawa, dan yang jelas dosa, sementara Dio, dia hanya menanggung dosa
tanpa resiko kehilangan nyawa. Kalau aku tetap menjaga janin ini, resikonya
keluarga berantakan, ditinggal suami berlayar tapi aku bisa hamil. Sementara
Dio, istrinya tidak pernah tau kalau suaminya telah menghamili perempuan lain.
Dan kalau aku menerima ajakan Dio untuk menikah, resiko nya sama dengan pilihan
kedua, keluargaku berantakan, karena untuk menikah dengan Dio aku harus minta
cerai dulu dari suamiku, sementara Dio, dia bisa menikahi ku sembunyi-sembunyi
tanpa harus menceraikan istrinya.
Baru
kusadari sepenuhnya ketololanku ini. Mempunyai keluarga bahagia, suami baik dan
setia, anak-anak yang sehat dan pintar, materi berlimpah, segala yang aku
inginkan tercukupi, kenapa aku harus terjerumus ke lumpur penuh dosa ini.
Akhirnya aku
memberi jawaban tegas pada Dio.
“Biar
kupelihara janin ini.”
“Kamu
serius?”
“Ya.”
Jawabku pasti.
“Terus apa
yang harus kulakukan?” Dio masih belum memahami keputusanku.
“Besok kamu
pulang, temui anak istrimu, jaga mereka baik-baik. Jangan pernah mengulangi
kesalahan yang sama. Dan yang paling penting…jangan pernah memikirkan aku lagi.
Anggap aja semua ini mimpi buruk. Sekarang kita sudah terbangun dari tidur, dan
kembali kekehidupan nyata.” Aku memberikan argumentasiku kepada Dio. Dan Dio
sepertinya masih belum sepenuhnya mempercayai keputusanku.
“Kamu yakin
dengan semua ini? Kemarin kamu memaksa ku untuk datang kesini. Sekarang kamu
menyuruhku pulang seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa.”
“Aku yakin.
Benar-benar yakin. Pulang lah sebelum aku berubah pikiran.”
Dio pun
mengantar aku pulang. Dalam perjalanan pulang dari cafe menuju rumahku,
pikiranku berputar-putar. Sebenarnya aku punya rencana untuk menggugurkan janin
ini. Tapi aku tidak ingin urusan ini menjadi ribet dengan melibatkan Dio.
Kupikir tidak adanya gunanya melibatkan Dio dalam menyelesaikan masalah ini,
karena apapun jalan keluar yang kami tempuh, semuanya tetap merugikan diriku.
Biarkan saja Dio kembali ke kotanya, kemudian aku akan mengurus proses aborsi
janin ini. Dan pada saat suamiku kembali 5 bulan lagi kondisi ku pasti sudah
pulih, dan tidak ada lagi kisah-kisah roman antara aku dan Dio. Aku ingin
kembali menjadi istri yang baik, setia, dan patuh pada suamiku.
####
Aku terkapar
di rumah sakit. Setelah mengalami koma selama dua hari akhirnya aku siuman juga.
Perawat memberi tahu kakakku kalau aku sudah sadarkan diri.
Ternyata
pada saat melakukan aborsi di salah satu
klinik aku mengalami pendarahan hebat, hingga tidak sadarkan diri. Pada saat
pergi ke klinik aku mengajak pembantuku, untuk berjaga-jaga kalau-kalau terjadi
apa-apa dia bisa menghubungi keluargaku. Terus terang aku tidak memberitahu
masalah ini kepada siapapun termasuk keluargaku, karena aku malu dan takut.
Pada saat
aku tidak sadarkan diri, pembantuku menelphone kakak ku, dan akhirnya beliau
memindahkan aku ke rumah sakit Internasional ini.
Setelah
perawat memberitahu kakak kalau aku
sudah siuman, beliau masuk menemuiku. Aku tidak kuasa membalas tatapannya, ada
rasa malu, hina, kotor, dan takut yang teramat sangat. Mungkin kakak ku
menyadari akan hal ini. Dia tidak banyak bicara, hanya memelukku dengan erat
sambil menghapus air mataku dengan jarinya. Dengan lembut dibelainya rambutku. Sesaat
kemudian dia berucap,
“Alhamdulillah
kamu sudah siuman.”
Aku hanya
bisa mengangguk lemah.
“Maafin aku
ya kak, sudah bikin aib keluarga.”
“Gak usah
dipikirkan. Yang penting sekarang pulihkan dulu kondisimu.”
Kemudian
kakak melanjutkan kalimatnya,
“Suamimu ada
diluar.”
Bagai
disambar petir disiang bolong, serasa aku ingin kembali pingsan. Seolah memahami perasaanku, kakak kembali berujar,
“Kamu gak
usah takut, dia memahami kondisimu. Dan dia memaafkanmu. Dia ingin masuk
menjengukmu, tapi dia meminta kakak untuk menenangkanmu terlebih dahulu.”
Setelah
berkata begitu, kakak keluar memanggil suamiku. Beliau, suamiku masuk.
Aku memiringkan tubuh menghadap tembok, tidak kuasa dan tidak berani menatap
wajahnya. Perlahan kurasakan tanganku disentuh. Suamiku….dia menggenggam
jemariku, mengelusnya.
“Waktu kamu
koma, kakak menghubungiku. Kami sedang berlabuh di Filipina. Sebenarnya aku
tidak bisa meninggalkan kapal, tapi aku lebih tidak bisa lagi kalau harus
meninggalkanmu dalam kondisi koma. Itulah sebabnya aku langsung terbang ke
sini.” Suami ku mencoba mencairkan suasana.
Tapi justru
kata-katanya itu semakin membuat hatiku terjuham. Semakin membuat aku
merasa sangat hina dan tidak pantas untuknya.
“Kamu gak
usah takut. Aku memaafkanmu, benar-benar memaafkanmu karena aku begitu
mencintaimu.” Dia berusaha meyakinkanku.
Aku masih
memiringkan badan menghadap tembok,
sambil terus menahan tangis yang tak bisa kuhentikan. Ada rasa haru dan
penyesalan, juga rasa malu yang begitu mendalam di hati.
“Selama
seminggu ini aku akan menemanimu. Kemudian aku akan balik ke kapal. Lima bulan
lagi aku mendarat. Untuk selanjutnya aku tidak akan mengambil kontrak lagi.
Kita bisa mencoba buka usaha, jadi aku
tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Kita bisa bersama-sama terus setiap
waktu.” Dia yang terkasih terus mencoba meyakinkanku sambil menuturkan
rencananya.
Airmata ku
semakin deras menetes. Aku membalikkan badan menghadapnya, kulihat ternyata
matanya juga berkaca-kaca. Setulus hati aku memeluknya, sambil menangis dan
mengucapkan kata maaf berulang ulang.
“Didalam
hati seorang pelaut aku melabuhkan seluruh hidupku” Janjiku dalam hati.
Note : Cerpen ini sudah diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen yang berjudul "Facebook, Reuni, dan CLBK"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar